Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Part 1 Pendakian Gunung Budeg - Rencana Dadakan

 

Gunung Budeg


Sebuah perkataan yang dibicarakan akan menjadi rencana. Rencana yang direalisasikan akan menjadi aksi. Namun jika pada akhirnya rencana telah disusun dengan matang dan tidak berujung pada aksi, maka disitulah kesabaran kita diuji. Seberapa kuat harapan kita akan ditentukan oleh seberapa besar kesabaran kita

***

Sore hari di rumah saya atau biasa kawan-kawan memangilnya dengan sebutan kos sastra, hujan turun cukup deras. Kawan-kawan sedang berbincang di ruang tamu. Dengan kopi, mereka terlibat dalam perbincangan yang mengasyikkan.

Saya kebetulan baru bangun tidur. Sejenak merebahkan badan karena lelah bekerja di sawah. Saya terbangun karena tawa kawan-kawan yang cukup keras. Dari dalam kamar, saya nyeletuk, “Yuk, nanti malam kalau tidak hujan ke gunung Budeg!”

Jauh dari dugaan ternyata celetukan saya mendapat respons yang serius dari kawan-kawan.

“Gasss!!!” ujar Ahmad.

“Kabari Agung. Siapa tahu dia mau ikut.”

Ahmad langsung mengirim broadcast ke Agung. Tak butuh lama, Agung langsung menerima tawaran. Tak disangka ternyata dari celetukan berubah menjadi kenyataan.

Gunung Budeg ialah salah satu gunung yang ada di Tulungagung. Dengan ketinggian 585 MDPL, tentu gunung ini tidak sepadan jika dibandingkan dengan gunung-gunung tersohor yang ada di Jawa Timur. Seperti gunung Arjuno, gunung Semeru, gunung Kelud, gunung Butak.

Namun di setiap akhir pekan gunung Budeg ini sering dikunjungi, khususnya para anak muda. Gunung ini cocok untuk melepas penat karena lelahnya pekerjaan atau sekadar melihat lanskap kota Tulungagung dari ketinggian. Juga barisan perbukitan yang ada di Tulungagung, tentu tak dapat terelakkan panoramanya dari puncak gunung Budeg.

Selepas magrib, hujan sudah reda. Kami mulai melihat langit. Ternyata langit masih tertutup mendung tipis.

Kami rencana berangkat pada dini hari. Karena gunung yang tak terlalu tinggi, sekitar satu hingga dua jam berjalan, kami tidak mendirikan tenda. Sesampai di puncak nanti, mungkin kami hanya akan minum kopi sembari berbincang. Kemudian kalau matahari mulai naik, kami akan turun.

Waktu terus bergerak. Langit mulai bersahabat. Satu dua gemintang menampakkan diri. Pertanda baik. Semoga semesta mendukung.

Hari ini saya akan berangkat dengan empat kawan. Saya, Ahmad, Agung, dan Shon. Shon ialah salah seorang kawan kami memutuskan ikut di tiga jam sebelum keberangkatan.

Kami tidak membawa logistik yang banyak. Hanya beberapa kopi beserta susu, dua matras, satu kompor, dan dua botol air mineral berukuran besar.

Sebelum hari ini, ada banyak rencana yang melibatkan kami untuk pergi ke gunung Budeg. Tiga rencana sebelumnya gagal total. Padahal sudah direncanakan dengan matang. Tetapi hari ini yang sifatnya dadakan, malah terealisasikan. Manusia hanya bisa merencanakan selebihnya Tuhan yang menentukan.

Pukul setengah satu, kami berempat berangkat. Memerlukan waktu sekitar lima belas menit naik motor dari rumah menuju tempat parkir gunung Budeg. Rencananya kami nanti tidak melalui jalur pendakian utama, melainkan melalui via Goa Tritis.

Genangan air banyak berkubang di jalanan. Kami harus berhati-hati. Banyak lubang yang tertutup air. Beberapa kali juga motor Ahmad tidak bisa menghindari lubang tersebut. Aih ... di Kota Tulungagung yang notabene sudah berkembang masih banyak jalanan berlubang. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana di desa-desa yang jauh dari perkotaan, mungkin infrastrukturnya lebih parah lagi. Jalan berlubang mestinya menjadi pemandangan biasa.

Pukul 00.50 WIB, kami sampai di area gunung Budeg. Dari sini pun kami tidak akan langsung naik. Terlalu cepat jika langsung ke puncak. Sementara kami masih punya banyak waktu hingga sunrise menjelang. Kami melipir ke warung kopi yang masih buka. Udara dingin menyergap. Angin berembus pelan.

Susu jahe dan kopi jahe menghangatkan malam. Saya melihat ke atas. Mendung mulai menyisih.

Agung meminjam gitar pemilik warung kopi. Dia memainkan senar dengan meyakinkan. Tak ada lagu galau di sini. Kurang tepat dinikmati. Yang ada hanya lagu tentang kehidupan dan perdamaian. Enak saja menyanyikannya. Bikin mata melek.

Ada banyak lagu yang mewakili keresahan seseorang. Buat kami yang telah masuk kepala dua, lagu yang cocok mungkin mengenai kehidupan. Kami mulai beranjak mengenal apa sesungguhnya arti kehidupan. Ada banyak keresahan tentang mengarungi hidup. Walaupun segala rancangan masa depan telah ditata sedemikian rupa dengan harapan akan sesuai rencana, tapi resah tetap saja hadir. Wajar bagi saya, untuk selalu bisa memperbaiki diri. Justru jika tak ada keresahan, malah akan berakhir tidak baik-baik saja.

Para pencipta lagu dasarnya mempunyai pengalaman atas lagu yang mereka buat. Sentimen kecil yang mengetuk hati mungkin akan menjadi karya yang bisa dirasakan oleh khalayak luas. Dan mereka pasti merasakan tentang apa yang telah mereka buat. Pengalaman yang berubah menjadi kolase nada yang menyentil hati kecil.

Pukul setengah dua dini hari, Agung masih nyaman dalam petikan gitar. Saya dan Shon bernyanyi lirih. Sementara Ahmad sejak lima menit yang lalu sudah tidur. Ngantuk katanya. Biarlah dia tidur, duduk terlalu lama di sebuah tempat terkadang menimbulkan rasa kantuk.

Warung kopi sepi. Tak ada pengunjung. Pemilik warung juga telah menutup warungnya. Hanya menyisakan kami berempat di tempat ini. Saya kembali melihat ke atas. langit telah sepenuhnya terang. Puncak gunung Budeg terlihat melambai.

“Satu lagu lagi lalu kita berangkat naik,” kataku kepada Agung dan Shon. 

Mereka berdua mengangguk. Pada dasarnya bukan jam yang menjadi acuan waktu bagi kami malam ini, melainkan lagu. Kami menghitung satu dua dawai lagu karena ini adalah pendakian santai. Selain itu kami menjadi lebih rileks, tidak diburu oleh waktu. Karena ketika perjalanan dikepung oleh waktu, malah tidak akan menyenangkan perjalanan tersebut.

Agung menghentikan permainan gitarnya. Kami bertiga sedikit membicarakan perihal aktivitas yang dilakukan beberapa hari terakhir. Shon bercerita bahwa dua hari lalu dia baru saja ziarah wali ke Jawa Tengah. Tentunya menyenangkan. Saya pun selalu tertarik dengan cerita ziarah para wali. Shon sebetulnya mengajak saya untuk ikut ziarah. Tapi saya menolak karena bertepatan dengan tenggat pembayaran uang semester kuliah. Saya tidak ingin menambah beban keuangan keluarga.

Pukul dua dinihari. Agung membangunkan Ahmad. Nampaknya Ahmad telah jatuh dalam mimpi sehingga sedikit sulit untuk membuat matanya terbuka. Butuh waktu beberapa menit untuk membuatnya benar-benar bangun sepenuhnya.

Kami berangkat ke tempat parkir gunung Budeg via Goa Tritis. Hanya tiga menit naik motor. Suasana hening. Hanya suara motor kami yang mengisi kekosongan. Kami tiba di rumah yang biasa digunakan sebagai tempat parkir wisata Goa Tritis.

Agung dan Shon mengetuk pintu, mengucap salam. Tak ada jawaban.

Bersambung ... Lanjut Part 2


Posting Komentar untuk "Part 1 Pendakian Gunung Budeg - Rencana Dadakan"