Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Part 2 Pendakian Gunung Budeg - Tertipu oleh Jalan Bercabang

 

Gunung Budeg


Kita bisa memilih bagaimana harus melangkah dengan konsekuensi tersendiri yang harus dihadapi. Hal baik bisa menjadi kenangan yang diceritakan. Hal buruk dapat menjadi pembelajaran mulia dari sebuah pilihan. Seorang insan harus memilih untuk mengetahui seberapa siap dirinya pada peristiwa yang telah dilukis Tuhan di depan mata

***

Kami berangkat ke tempat parkir gunung Budeg via Goa Tritis. Hanya tiga menit naik motor. Suasana hening. Hanya suara motor kami yang mengisi kekosongan. Kami tiba di rumah yang biasa digunakan sebagai tempat parkir wisata Goa Tritis.

Agung dan Shon mengetuk pintu, mengucap salam. Tak berselang lama, seorang bapak keluar dari dalam rumah. Wajahnya menandakan bahwa kalau dia baru bangun dari tidur.

“Mau mendaki, Mas?” tanyanya.

“Enggeh, Pak.” Kami semua serempak menjawab.

“Saya tunggu di ruangan belakang. Motornya ditaruh di sana saja.”

Kami berempat mengekor si bapak tersebut. Tak ada pendaki lain. Mungkin di puncak nanti kami hanya berempat.

“Ini, Mas. Saya pinjami senter.” Si bapak menyerahkan senter berukuran cukup besar.

“Terimakasih, Pak.” Kami mengangguk takzim.

“Satu lagi. Nanti kalau ke puncak ambil jalur kiri.” Si bapak mengarahkan.

Pendakian dimulai. Trek awal sangat memanjakan kaki karena kami tidak langsung bertemu dengan tanah, melainkan paving. Maklum di belakang area parkir adalah tempat wisata Goa Tritis.

Dikutip dari travellersblitar.com Goa Tritis merupakan ceruk alami di bawah tebing gunung yang dimanfaatkan sebagai tempat peribadatan di masa klasik. Terdapat pagar bata yang mengelilingi arca Dewi dan framen arca. Pintu pagar tidak berada di tengah, melainkan berada di sisi kanan.

“Sisi kiri, ya?” tanya Shon yang melihat jalur percabangan. Dia yang menjadi sweeper. Dari sini lanskap kota Tulungagung dengan permainan lampu sangat indah dipandang.

Saya lanjutkan tentang Goa Tritis. Area Goa Tritis sebenarnya cukup luas. Selain bangunan utama, juga ada bangunan pendukung lain seperti talud yang disusun oleh bata, altar batu, dan sendang. Goa ini juga sering dikunjungi para pelajar, anggota pramuka, dan pecinta alam pada saat libur atau weekend. Namun perlu diingat, jika ingin menuju Goa Tritis harus membawa perbekalan, setidaknya air mineral karena jalurnya akan sedikit menyulitkan.

Sejauh ini kami menemui jalur yang lumayan enak. Trek yang banyak kerikil kecil dan bebatuan memudahkan perjalanan asalkan tidak hujan. Sejenak kami beristirahat sembari menikmati panorama perkotaan di bawah sana. Indah sekali.

Kami melanjutkan perjalanan. Naik ke bebauan besar, berpegangan akar pohon. Hingga kami dibuat bingung oleh jalur yang mulai dipenuhi tumbuhan lebat.

“Ini benar kan jalurnya?” Saya curiga terhadap jalur.

“Benar. Mungkin karena lama tidak didaki karena pandemi. Akibatnya jalur sedikit tertutup,” jawab Agung.

Semakin lama jalur semakin sulit karena tumbuhan merambat. Kanan kami jurang. Kalau tidak hati-hati bisa berbahaya.

“Ini enggak salah kan?” Saya mencoba kembali memastikan.

“Kita coba jalan dulu,” ujar Shon.

Kami kemudian dihadapkan oleh trek yang semakin tidak jelas. Menurun. Malah semakin terus berjalan kami malah melewati jalur aliran air. Sebenarnya ini bukan kali pertama kami naik ke gunung Budeg. Tapi ini adalah pertama kali kami naik via Goa Tritis.

Tidak ada petunjuk. Petunjuk satu-satunya ialah lampu yang dipasang pengelola di sepanjang jalur. Tapi sayang, kata si bapak di tempat parkir, lampunya sedang padam karena kabelnya putus.

Setelah kami menerobos tumbuhan liar, kami tiba di Goa Tritis.

“Ini Goa Tritis,” ujar saya.

“Lho tapi tadi kita tidak melewati jalur semestinya. Lihat ke kanan! Itu jalur yang sebenarnya,” kata Ahmad.

“Ya sudah, kita lanjut saja,” saran Agung.

Kami menyisir jalur di bawah tebing. Kecurigaan bahwa kami salah jalur semakin tinggi mengingat perjalanan kami semakin lama bukan malah semakin menanjak, melainkan semakin menurun. Dan seharusnya posisi kami sekarang berada di atas tebing, bukan malah di bawah tebing.

Kali ini saya yang menjadi sweeper. Saya merasa ini bukan jalur karena tidak ada bekas pejalan kaki atau pendaki. Saya berhenti. Memandang ke depan. Mentok. Tidak ada jalan lagi. Di sisi kanan sedikit ke bawah terlihat seperti jalur. Agung mengecek jalur. Nihil. Di bawah jurang.

Kami berhenti sejenak sembari menjernihkan pikiran. Mengambil sebatang rokok, berdiskusi mengenai jalur yang benar. Total setengah jam kami diputar oleh jalur yang tidak jelas.

“Kita kembali saja, ikut jalur yang benar yang mengarah ke Goa Tritis,” kata Ahmad.

“Kayaknya tadi sudah benar dan kita sudah mengikuti arahan dari si bapak tadi untuk ambil jalur kiri,” ujar Shon.

“Bagaimana? Kita kembali sekarang?”

“Yokk!”

Kami akhirnya kembali ke Goa Tritis. Saya melihat jalur utama Goa Tritis, yang bukan kami lewati. Nihil. Tak ada petunjuk.

“Tunggu sini! Aku akan cari petunjuk,” ucap Agung.

Agung kemudian menyisir kembali jalur. Turun dari bebatuan besar, melewati jalur air. Sedikit hati-hati karena trek licin. Saya, Ahmad, dan Shon terlibat dalam diskusi ringan. Mencoba mengingat kembali trek di awal pendakian.

“Kita ikuti Agung,” ajak Shon.

Tak berselang lama, Agung berteriak. Nampaknya dia mendapatkan petunjuk yang tepat. Kami langsung menyusul tapi tak melepaskan tingkat kehati-hatian.

Agung menunjukkan tali yang mengarah ke atas. Tepat di persimpangan jalur. Kami langsung naik dengan bantuan tali. Yes. Sesampai di atas kami menemukan kembali jalur yang benar. Syukurlah. Tuhan masih memberikan jalan.

Selepas itu tidak ada halangan berarti bagi kami. Walaupun terkadang terdapat trek yang menanjak tapi berhasil kami lalui dengan baik. Masih sama dengan pendakian gunung Kelud beberapa waktu lalu. Kalau capek, istirahat. Tak ada yang kami kejar. Santai.

Pukul empat pagi, kami akhirnya tiba di puncak gunung Budeg dengan ketinggian 585 MDPL. Lanskap kota Tulungagung dengan lampu sangat menakjubkan. Bahkan dari atas kami masih bisa mendengar suara kokok ayam yang berasal dari pemukiman warga di bawah sana.

Angin bertiup kencang. Saya memakai jaket. Memandang bagaimana aktifitas kota dari atas. Tak bisa diucapkan dengan kata-kata ketika melihat ciptaan Tuhan yang begitu indah. Hanya pujian yang bisa diucapkan. Sementara ketiga kawan saya mengabadikan momen dengan ponsel.

Bersambung ... Lanjut Part 3.

Posting Komentar untuk "Part 2 Pendakian Gunung Budeg - Tertipu oleh Jalan Bercabang"