Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Purnama Di Bukit Kura-Kura | Sebuah Perjalanan


Dokumentasi Pribadi

Kita tidak bisa memilih di keluarga mana kita dilahirkan. Namun kita bisa merubah mau menjadi apa kita di masa depan. Apa yang kita angankan belum tentu menjadi kenyataan. Tetapi apa yang kita usahakan pasti akan mendapat balasan. Roda berputar menemukan ganjalan, kapak besar memerlukan benturan.

***

7 Januari 2023

Setelah tak terhitung lagi jumlah rencana gagal pendakian menjelang akhir tahun 2022, Mansur akhirnya mengajak untuk naik ke Bukit Kura-Kura. Berubah dari rencana awal yang ingin mendaki ke salah satu gunung di Jawa Timur. Tidak apa-apa, rencana tidak akan berbentuk aksi jika terbentur situasi.

Saya kemudian mengajak Heri dan Dewa untuk turut serta. Toh mereka belum sekali pun merasakan sensasi mendaki sebelumnya. Sementara Mahali katanya akan menyusul setelah menyelesaikan sebuah urusan kecil di tengah kota.

Pukul setengah lima sore kami mulai packing. Memeriksa peralatan dan mempersiapkan logistik. Perkara kecil harus dilakukan sebelum terbentur oleh perkara besar.

“Dewa mana? Belum kelihatan dia,” tanya Mansur sembari memasukkan tenda ke dalam tas.

“Bentar lagi datang,” jawab Heri. Dia baru saja menghubungi Dewa melalui pesan Whatsapp.

Benar, tidak sampai lima menit, Dewa datang dengan wajah semringah. Dia selalu excited untuk hal-hal yang menarik perhatiannya. Sebenarnya ketika saya, Mansur, dan Mahali melakukan pendakian ke Gunung Kelud pada akhir tahun 2021, dia memiliki kesempatan untuk ikut. Tapi karena kesibukannya, dia memutuskan untuk batal bergabung.

Packing selesai ketika waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Kami memutuskan untuk berangkat selepas magrib saja. Tidak elok ketika magrib tiba, kami malah melakukan perjalanan.

Azan berkumandang. Mengusir riuh dunia beserta isinya. Takzim menyimak lantunan yang merdu. Kami mulai menunaikan kewajiban. Bersimpuh kepada Tuhan yang memberi hidup. Berdoa, semoga dalam perjalanan nanti senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran.

Kami baru benar-benar berangkat selepas isya’. Sedikit tertunda karena Mansur mengajak untuk mengisi perut terlebih dahulu.

Bukit kura-kura terletak di Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Terletak di antara puncak Candi Dadi dan puncak Gunung Budeg. Termasuk ke dalam deretan pegunungan walikukun. Dinamakan pegunungan walikukun karena pada zaman dahulu deretan pegunungan tersebut banyak ditumbuhi pohon walikukun. Berjalannya waktu pohon tersebut telah habis dan kini hanya bisa ditemukan di puncak Candi Dadi.

Kami sedikit melipir ke sebuah supermarket untuk membeli logistik tambahan seperti gas portable, makanan ringan, dan mie instan. Setelah semua lengkap kami kembali meneruskan perjalanan.

Tempat parkir Bukit Kura-Kura sepi. Hanya motor kami yang mengisi. Tempat parkir ini adalah tempat parkir yang sama untuk tempat wisata Tangga Sewu.

“Nginep, Mas?” tanya seorang ibu ketika kami baru sampai.

Kami semua mengangguk.

“Motornya taruh situ aja, jangan dikunci stang! Biar nanti saya masukkan ke dalam rumah.”

Kami menuruti perintah ibu tersebut. Merapikan tas sembari menunggu Heri dan Dewa yang sejenak pergi ke kamar mandi.

Pendakian dimulai. Kami terlebih dahulu melewati Tangga Sewu. Barisan tangga sedikit menanjak. Perlu mengatur langkah dan napas dengan baik. Kalau tidak, energi akan terkuras di sini. Setelah itu jalan sedikit memanjakan dengan jalur setapak cor-coran. Di sebelah kiri, mulai terlihat lampu-lampu perumahan di bawah sana.

Jalur berubah menjadi jalan paving ketika menuju ke makam Eyang Cokrokusumo. Menurut keterangan yang saya baca, Eyang Cokrokusumo ialah salah satu sesepuh yang sangat disegani oleh masyarakat, khususnya di Desa Wajak dan sekitarnya. Makam ini terletak di ujung Tangga Sewu. Satu jurusan dengan puncak Candi Dadi dan Bukit Kura-Kura.

Setelah melewati makam, kami baru menemukan jalur yang bervariasi. Bebatuan dan tanah. Saya perkirakan pada saat hujan atau gerimis, jalur tanah ini akan sedikit licin.

Break sebentar!” Mansur menghentikan langkah. Dia merasakan sakit di perutnya.

“Enggak apa-apa?” tanya saya.

“Asam lambungku naik,” ujarnya sembari memegang perut. Mungkin ini adalah efek dari makan pedas selepas magrib tadi.

Kami beristirahat seraya menunggu kondisi Mansur membaik. Dia memang memiliki riwayat penyakit asam lambung. Sering kali kambuh karena memakan makanan pedas. Saya duduk, menyeka keringat yang membasahi wajah. Jalur Tangga Sewu memang sedikit menguras tenaga. Saya mendongak ke atas, bulan purnama bersinar terang. Heri dan Dewa mengabadikan momen. Mereka berdua sangat menikmati pendakian.

“Gimana, Sur?” Saya memastikan kondisi Mansur.

Mansur meneguk air. Mengatur napas. Mengangguk. “Yuk lanjut!”

Perjalanan dilanjutkan. Mansur berada di depan sebagai navigator. Jalur masih bervariasi dengan tanah dan bebatuan. Vegetasi terbilang cukup longgar dengan banyak lahan luas yang biasanya digunakan untuk nge-camp. Lanskap kota Tulungagung mulai sempurna terlihat.

Tingkat kesulitan jalur bervariasi. Kami terkadang menemukan trek landai. Kemudian bertemu dengan trek cukup menanjak. Khusus di trek menanjak, Heri sedikit berhati-hati karena di antara kami berempat, hanya dia yang tidak memakai sepatu. Sebelum berangkat sudah diingatkan untuk memakai sepatu. Dia beralasan semenjak lulus sekolah, dia tidak memiliki pelindung kaki tersebut. Tidak apa-apa juga sih, asal dia lancar dalam pendakian. Supaya tidak mudah terpeleset.

Kami kemudian dihadapkan oleh jalur bercabang. Ke kiri atau lurus. Kiri menuju puncak Candi Dadi dan lurus menuju tujuan kami, puncak Bukit Kura-Kura. Kami tidak langsung lurus, melipir ke kanan untuk mengisi air di sungai. Kebetulan di dekat jalur terdapat sungai yang mengalir pelan. Suara gemericik terdengar. Di sana banyak juga ditemukan udang-udang kecil.

Setelah botol terisi penuh, kami lanjut untuk mencapai puncak. Tidak lama lagi. Kini kami banyak menemukan trek menanjak dengan tingkat kesulitan lumayan sedang. Perlu pijakan yang baik supaya tidak mudah terpeleset. Menurut saya, trek paling menanjak ialah saat beberapa meter menuju di puncak. Walaupun terbilang masih mudah, tapi cukup menguras napas yang banyak.

Lima menit, kami sepenuhnya telah mencapai puncak Bukit Kura-Kura. Menurut informasi yang tertera di puncak, Bukit Kura-Kura memiliki ketinggian 309 MDPL. Tetapi pada saat dicek di kompas, ketinggian berada di angka 300 MDPL.

Dokumentasi Pribadi

Puncak terbilang sangat terbuka. Tidak ada pepohonan yang tumbuh. Berbeda dengan puncak Candi Dadi dan Gunung Budeg yang masih banyak tumbuh pepohonan. Dari atas, pemandangan sungguhlah sangat indah. Lanskap kota Tulungagung yang cantik. Juga penampakan Gunung Wilis yang berdiri gagah di sisi utara.

Menurut pengalaman saya, dari ketiga puncak: Candi Dadi, Bukit Kura-Kura, dan Gunung Budeg, yang memiliki panorama indah memanjakan mata ialah dia puncak Bukit Kura-Kura. Di sini kita bisa betah berlama-lama. Tapi kekurangannya ialah pada siang hari yang panas. Lahan yang terbuka membuat kulit dapat tersentuh langsung sinar ganas matahari.

Masing-masing dari kami mengabadikan pemandangan yang tepat di depan mata. Cantik. Saya melihat ke atas. Purnama mulai terselimut awan tipis. Semoga yang kami takutkan tidak terjadi.

Setelah itu kami mendirikan tenda. Angin yang bertiup cukup kencang ditambah keringat yang membasahi badan menambah tingkat kedinginan yang dirasakan tubuh. Kami saling bahu-membahu membuat tenda berdiri sempurna. Dalam hal ini kerja sama sangatlah penting. Itulah mengapa dari kecil kita diajarkan untuk kerja sama dalam hal apapun.

Istilah mengatakan, “Dua tangan bisa, banyak tangan lebih sempurna.”

Tenda berdiri sempurna. Saya mengeluarkan semua logistik. Heri menata alas tenda. Mansur dan Dewa menyalakan kompor untuk kemudian memasak air. Perbincangan mengiringi aktivitas kami. Kami membahas hal-hal random. Mulai dari hal biasa hingga tatanan dunia. Yang jelas obrolan itu kebanyakan ngawur. Tidak jelas. Pukul sembilan, empat orang pemuda, bukan waktu yang pas untuk membicarakan hal-hal serius. Harus diiringi banyak tawa.

Telepon Mansur berdering. Nama Mahali tertulis jelas di layar. Sinyal masih bisa ditangkap mudah di puncak Bukit Kura-Kura.

Mahali berkata, dia sudah sampai di tempat parkir dan akan langsung melakukan pendakian. Kami mengangguk-angguk. Telepon ditutup dan melanjutkan obrolan. Mahali nantinya akan datang seorang diri. Dia sudah sering melakukan pendakian di Bukit Kura-Kura sendirian pada saat malam hari. Untuk hal semacam ini, segala rumus ketakutan sudah dibuang jauh olehnya.

Tak sampai satu jam, Mahali terlihat datang dengan sedikit ngos-ngosan. Katanya badannya sedikit terkejut karena sudah lama tidak mendaki. Maklum dari kami berlima hanya Mahali yang sudah malang melintang di dunia pendakian gunung. Bahkan dialah yang memberitahu kami tentang gunung dan puncak yang bisa tertangkap mata dari Bukit Kura-Kura. Hapal sekali dia tentang tempat dan nama puncak di setiap gunung. Big applause for him.

Selepas itu perbincangan semakin seru. Banyak hal yang tidak perlu dibahas tetapi malah kami perdebatkan. Memang benar-benar random. Heri dan Mansur masuk ke dalam tenda. Matanya mulai sayu, punggungnya perlu diluruskan kembali. Meninggalkan saya, Dewa, dan Mahali di luar. Angin sering bertiup dengan kencang.

Dewa kemudian beranjak masuk ke dalam tenda. Beberapa kali dia menguap. Pukul setengah dua belas malam. Mendung melintas, bergerak menuju ke arah selatan. Purnama masih bersinar terang. Di sekelilingnya bintang terlihat jarang-jarang. Sudah lama saya tidak melihat bintang yang memenuhi langit. Dahulu ketika masih kecil, saya sering mencari rasi bintang di atas sana. Membuktikan apa yang dipelajari pada pelajaran IPA.

Saya mengecek persediaan air. Hampir habis. Hanya menyisakan setengah botol. Saya dan Mahali lantas turun menuju aliran sungai yang tidak jauh dari puncak untuk mengambil air.

8 Januari 2023

Cukup lama saya dan Mahali berada di sungai. Kami baru kembali pada pukul setengah dua pagi. Heri dan Mansur sudah terlelap. Dewa yang tidur di teras tenda terbangun. Dia tidak tidur di dalam tenda karena banyak nyamuk.

Saya mulai menguap. Mata seperti dipulut. Saya masuk ke dalam tenda. Hendak memejamkan mata barang hanya satu dua jam. Meninggalkan Mahali dan Dewa yang berada di luar. Apa yang dibilang Dewa ternyata benar. Nyamuk di dalam tenda benar-benar banyak dan ganas. Saya tidak tahu mengapa banyak nyamuk di sini. Heri bahkan sering mengumpat karena tidak betah dengan gigitan nyamuk. Sementara Mansur tidak peduli lagi, tenggelam dalam lautan mimpi.

Apa yang saya inginkan untuk tidur tidak kunjung terjadi. Nyamuk membuat saya harus bersabar. Saya mendengar semua obrolan Dewa dan Mahali. Bahkan ketika mereka berdua membuat api unggun, saya juga tahu. Tapi saya diam saja. Masih berusaha untuk memejamkan mata.

Pukul setengah empat saya benar-benar menyerah. Gigitan nyamuk sangat membekas. Saya, Heri, dan Mansur bangun. Di luar tenda nyamuk tidak nampak satu pun. Pantesan dari tadi Dewa dan Mahali santai-santai saja.

Sayup-sayup kami mendengar lantunan tarhim dari bawah. Subuh sebentar lagi. Saya membuat teh untuk menghangatkan tubuh. Disusul Mansur yang menyeduh kopi. Sempat saya ingatkan untuk tidak meminum minuman berkafein, mengingat tadi malam asam lambungnya naik. Tapi dia tetap kekeh pada niatnya.

Dewa tertidur di atas matras. Mahali berada di depan api. Kami menunggu subuh. Pukul empat pagi, suara azan mulai berkumandang. Saling bergantian dari satu masjid ke masjid yang lain. Semesta bergema. Semua yang ada di dunia serentak bersujud kepada pencipta. Hening menyelimuti tiap-tiap dari kami.

Dokumentasi Pribadi

Perlahan langit mulai terang. Sinar purnama tidak lagi mendominasi. Matahari muncul dari kaki langit. Walau separuhnya tertutup awan mendung, tapi keindahannya masih terlihat nyata. Sekali lagi, kami menikmati ciptaan-Mu Tuhan.

Tidak terhitung lagi mata kita melihat bagaimana matahari terbit dan tenggelam. Setiap hari. Di mana selama itu dan hingga kini berlangsung, waktu akan terus berjalan. Tanpa peduli apa yang kita lakukan dan apa yang kita rasakan. Setiap kali resah dan masalah tiba selalu diiringi dengan rasa kesal. Berat sekali rasanya. Padahal kadar masalah telah ditentukan. Sesuai dengan siapa yang dibebankan. Waktu pada akhirnya akan menjadi jawaban paling baik untuk segala permasalahan yang terjadi.

Langit telah sepenuhnya terang. Awan turun di sisi jauh timur dan barat. Sinar matahari menyentuh hangat kulit. Dewa bangun lima belas menit yang lalu. Kami lantas berkemas. Merapikan barang-barang. Sepuluh menit, semua alat dan sisa logistik sudah tersimpan dalam tempatnya masing-masing.

Dokumentasi Pribadi

Pemandangan di pagi hari jauh lebih indah. Semua terlihat jelas. Gunung Wilis yang menjulang, pegunungan walikukun yang menawan. Nampak juga puncak gunung-gunung yang ada di Blitar dan Malang. Semua terpampang manja dalam bungkusan mata dari Bukit Kura-Kura.

Kita boleh berharap tentang apapun mengenai keindahan. Tentang gemerlapnya dunia beserta pelakonnya. Situasi baik tidak berpihak jikalau kita terus memaksa. Ada kalanya kita menerima dan bersyukur tentang hal-hal yang jauh dari apa yang diharapkan. Toh sesuai kadarnya masing-masing. Melangkah lebih baik daripada diam. Bersimbah tidak akan membuat kondisi hati runyam.

Salam literasi.

Mengudara dari Bukit Kura-Kura.

Posting Komentar untuk "Purnama Di Bukit Kura-Kura | Sebuah Perjalanan"