Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ritual Malam Rabu | Setan's Inferno Episode 2

 

Ritual Malam Rabu

Jangan terlalu menaruh kepercayaan kepada manusia, ujung-ujungnya sakit hati. Setan aja tahu itu masa kamu tidak.

SRAWUNG – Motor Supra hitam dengan setrip merah terlihat berhenti di depan pemakaman. Di bawah lampu putih remang dua orang laki-laki usia lima puluhan turun. Mereka berdua berjalan depan belakang. Satu orang di depan membawa senter sebagai penerangan. Satu orang di belakang membawa dupa dan sesajen. Mereka berhati-hati, takut. Bukan takut dengan suasana pemakaman yang sepi dengan suara hewan malam yang mengisi, melainkan takut jika tersandung batu nisan.

“Lihat, ada yang datang tuh padahal bukan malam Jumat.” Setan Petani menepuk bahu Setan Pejabat, memberitahu.

“Karmani? Ngapain dia datang ke sini?” Setan Pejabat harus memanjangkan lehernya untuk memastikan apakah itu Karmani apa bukan. Dari ekspresinya dia nampak terkejut.

“Kau kenal orang itu?”

“Itu dulu sainganku waktu nyalon jadi anggota dewan.”

“Temanmu juga dong.”

Setan Pejabat bingung harus merespons apa. Dikatakan teman tapi semasa hidup dia sering beradu mulut. Dibilang bukan teman, eh kok ya sering saling sapa di muka umum walau hal itu sebagai pencitraan saja. Dalam rumus pejabat, menjaga reputasi baik di hadapan publik lebih penting daripada rasa malu.

Wajah Karmani dan temannya waspada. Takut ada orang yang melihatnya berjalan di tengah-tengah pemakaman. Mereka berdua langsung menuju ke pohon beringin belakang area pemakaman. Karmani lantas menaruh sesajen di bawah pohon dan membakar dupa. Seorang temannya mengawasi sekitar.

“Hahaha ... Dia percaya pada hal begituan juga ternyata.” Setan Pejabat menertawakan Karmani. Maklum, dia tahunya Karmani adalah orang baik yang tidak percaya kepada hal mistis dan sesembahan selain kepada Tuhan.

“Semua orang kalau ingin jadi pejabat juga begitu kali,” ujar Setan Pemulung yang baru datang. Dia terbangun oleh tawa dari Setan Pejabat.

“Eh, enggak semua. Ada calon pejabat yang ngandelin doa ustaz dan berangkat umrah untuk dapat suara banyak. Tapi kebanyakan sih pakai cara itu. Lebih hemat.”

“Kalau begitu mengapa orang-orang kaya yang ingin jadi pejabat tidak umrah bareng-bareng aja?” tekan Setan Pemulung.

“Enggak semua doa langsung bisa dikabulin oleh Tuhan kali.”

Terlihat Karmani tengah melakukan sembah sembari merapal mantra-mantra. Dia juga meminta semoga rencana pencalonannya sebagai anggota dewan tahun depan bisa tercapai dan mendapat suara melimpah. Khusyuk sekali dia meminta. Niat sekali dia menyembah hingga tubuhnya hampir selaras dengan tanah. Lupa kalau di rumah istrinya sedang menunggu jatah.

Bau dupa semakin menyengat. Bersamaan dengan desau angin yang kian kencang. Musim sedang tidak menentu. Terkadang hujan, tiba-tiba angin, namun bisa secara mendadak hujan deras.

Setan Preman yang sedang tidur di balik pohon beringin merasa tergganggu. Dia tidak suka bau dupa. Sukanya bau makanan lezat. Dia bangkit. Mengeplak kepala Karmani. Keras. Membuat hewan-hewan mala.m sejenak hening

“Aduh ... Maaf, Mbah kalau kehadiran saya kurang sopan,” ujar Karmani dengan nada suara lemah.

“Cepat kau pergi, Tolol! Mengganggu waktu tidurku.” Setan Preman emosi. Sejak masih hidup, dia memang mempunyai tingkat kesabaran yang rendah.

Setan Preman lupa sekeras apapun dia berteriak dan mengumpat, suaranya tidak akan terdengar oleh Karmani.

“Brengsek! Bodoh! Bawuk! Kagak ngerti juga kau?” Setan Preman terus saja mengeplak kepala Karmani. Bergantian. Sisi kiri. Sisi kanan.

Karmani semakin dalam gerakan sembahannya. Meminta maaf kepada penghuni pohon beringin. Temannya pun santai saja. Dia mana tahu kalau kepala Karmani tengah panas karena terus-terusan dihantam oleh Setan Preman.

“LEMPAR PAKAI TANAH BIAR DIA PERGI!” teriak Setan Pejabat. Dia sudah paham betul oleh situasi seperti ini.

Setan Pejabat, Setan Petani, dan Setan Pemulung sedari tadi masih sibuk menertawakan Karmani.

Saran dari Setan Pejabat segera dilakukan oleh Setan Preman. Dia mengambil segenggam tanah secara asal. Melemparkannya ke arah Karmani hingga membuatnya terjatuh. Karmani dan temannya ketakutan. Merasa kehadirannya tidak diterima.

“Sekali lagi maaf, Mbah. Saya akan pergi tapi saya janji akan membawakan sajen lagi minggu depan.” Setelah mengatakan itu Karmani langsung tunggang langgang. Menyusul temannya yang sudah lari terbirit.

Setan Pejabat dan kawan-kawan semakin terpingkal. Apalagi melihat Karmani yang tersandung batu nisan karena pencahayaan yang terbatas. Di sisi lain, Setan Preman senang, akhirnya dia bisa melanjutkan tidur kembali.

***

“Aduh, ngapain sih berisik banget.” Setan Satpam berjalan malas menghampiri ketiga setan yang menertawakan Karmani. Dia menguap lebar, menandakan bahwa dia baru bangun tidur.

“Kau habis tidur?” tanya Setan Petani.

“Gara-gara suara kalian yang kayak bos lagi marah-marah membuat aku jadi terbangun.”

“Kau kan satpam, kok enggak betah begadang?”

“Justru itu, dulu hampir tiap hari aku begadang. Capek. Jadi sekarang aku mau puas-puasin tidur.”

Ketiga setan mengangguk-angguk. Sesama setan harus saling percaya. Di area pemakaman ini hanya ada mereka berempat yang masih membuka mata. Semua setan sudah tidur di kuburannya masing-masing. Pukul satu malam. Sejak harkat dan martabat mereka rendah di mata manusia, mereka menjadi lebih sering tidur di bawah pukul sebelas malam. Ngapain tidur larut bahkan menjelang pagi. Toh mereka tidak punya rutinitas lagi.

“Aku kasihan sama Si Koruptor itu. Tiap hari harus pindah-pindah tempat tinggal,” ujar Setan Pengusaha melihat Setan Koruptor yang meringkuk kedinginan di pos penjaga pemakaman.

“Salah sendiri ngapain korupsi. Biar tahu rasa?!” Setan Petani merasa kesal melihat Setan Koruptor.

Alasan mengapa Setan Petani sangat kesal dengan Setan Koruptor ialah karena dia dulu sangat kesusahan mencari pupuk untuk tanamannya karena sering terlambat datang. Kalau pun ada itu juga dijual dengan harga mahal. Waktu akhirnya menjawab akar permasalahannya. Tak lain dan tak bukan ialah uang subsidi untuk pupuk para petani ternyata dikorupsi oleh Setan Koruptor.

“Kasihlah maaf sedikit buat dia,” kata Setan Satpam. Hatinya iba melihat hidup Setan Koruptor yang luntang-lantung.

Kekayaan yang dulu dia banggakan tidak ada guna lagi sekarang. Bahkan keluarganya yang pernah dia kasih makan tidak pernah menjenguk untuk sekadar mendoakan. Kewibawaannya di dunia sirna ketika memasuki dunia setan. Semua sama rata. Tidak ada kasta. Nahas.

Setan Petani membuang muka. Tidak sudi dia memaafkan Setan Koruptor. Kalau pun Setan Koruptor harus bersujud di hadapannya untuk meminta maaf, dia juga tidak akan pernah mau memaafkan. Apa jadinya kalau teman-temannya yang masih hidup—para petani itu tahu kalau dia berdamai dengan orang yang telah membuat susah kehidupan pertanian.

“Udah, jangan ribut mulu! Lebih baik ikut aku lihat apa isi sajen Karmani.” Setan Pejabat sudah berjalan dua meter di depan kawan-kawannya.

Ketiga kawannya tanpa banyak protes langsung mengikuti Setan Pejabat. Mereka sebenarnya juga penasaran apa yang dibawa Karmani dalam sesajennya.

“Husss ... jangan berisik, nanti Si Preman bangun!” Setan Pejabat memperingatkan.

Bisa kacau kalau Setan Preman sampai bangun. Lihat sendiri tadi dia dengan entengnya mengeplak kepala Karmani yang notabene lebih kuat dari bangsa mereka.

Setan Pejabat memperhatikan isi sesajen Karmani. Di sana terdapat bunga mawar merah, bunga kenanga, empon-empon, wewangian, dan selirang pisang. Di taruh di dalam besek beralas daun pisang.

“Aku kira beda isinya dengan punyaku dulu, eh ternyata sama,” ujar Setan Pejabat.

“Orang kok pelit amat ngasih sajen,” gerutu Setan Pemulung.

“Lha emang disuruh dukunnya begitu.”

“Mbok modal dikit. Kasih ayam ingkunglah biar terkesan niat gitu. Kalau gini mana mungkin manusia mau nyoblos dia. Untuk setan aja pelit apalagi nanti sudah kepilih.” Setan Pemulung kini menghirup bau bunga kenanga.

Tidak ada yang mendebat perkataan Setan Pemulung. Dipikir-pikir benar juga. Kalau niat mau minta bantuan kepada setan ya setidaknya sedikit lebih niat kalau memberi sesajen. Toh nanti kalau sesajen yang masih utuh bisa dimakan hewan liar lain.

“Jangan-jangan kau dan Karmani dukunnya sama?” Setan Satpam curiga kalau mereka berdua memakai jasa dukun yang sama.

“Kayaknya enggak mungkin,” tepis Setan Pejabat. Dia merasa yakin kalau dukun yang dia gunakan berbeda dengan dukun yang dipakai Karmani. Terlepas dari isi sesajennya yang sama.

“Mungkin saja. Logikanya gini, kau dulu pakai dukun itu kan berhasil jadi anggota dewan sementara Karmani gagal. Nah siapa tahu Karmani mencari informasi tentang dukun yang kau gunakan. Mumpung kau sudah mati juga. Hilang satu tuh pasien si dukun. Jadi dia bisa masuk sebagai member baru.” Setan Satpam mencoba berpikir memakai logikanya semasa hidup dulu yang masih tersisa sedikit.

Setan Pejabat diam. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Setan Satpam. Seperti pepatah, hilang satu tumbuh seribu. Dukun pun begitu. Satu pasien mati, dia pasti mencari pasien lain. Asal pundi-pundi uangnya terus bertambah.

“Ini malam apa?” tanya Setan Pejabat.

“Malam Rabu.”

“Biasanya dukun yang aku pakai dulu menyuruhku untuk datang ke sini pada malam Rabu. Kita lihat minggu depan. Kalau Karmani datang lagi tepat pada malam Rabu, berarti dia juga pakai dukun yang sama denganku.”

“Baik, kita buktikan minggu depan. Aku yakin tebakanku benar.” Setan Satpam percaya diri.

Selepas itu mereka kembali nongkrong di atas kuburan Setan Pejabat. Maklum, kuburan ini adalah kuburan paling bersih di antara kuburan lain. Nyaman dijadikan tempat nongkrong. Bunga melati dan kenanga juga selalu baru setiap minggunya. Sebelum meninggal, Setan Pejabat berpesan kepada istrinya untuk menyewakan orang yang bisa merawat kuburannya agar tetap bersih. Dan itu dibayar lunas oleh istrinya.

Tinggal cari orang yang bisa setiap minggu merawat kuburan Setan Pejabat, membayarnya lunas. Selesai. Istrinya bisa fokus mengurus warisan sembari mencari suami baru. Toh Setan Pejabat hanya berpesan untuk merawat kuburannya bukan untuk tidak menikah lagi.

Bersambung.




Posting Komentar untuk "Ritual Malam Rabu | Setan's Inferno Episode 2"