Kehabisan Air dan Hampir Menyerah di Jalur Pendakian Gunung Wilis
SRAWUNG - Kita tidak pernah tahu seberapa besar tantangan yang harus dihadapi sebelum kita mencoba dan berusaha melewatinya. Angan-angan hanya akan membuat segala sesuatunya terasa berat.
25 Agustus 2023
Pendakian
ini bermula dari sebuah celetukan Mansur di sebuah kedai kopi. Saat itu saat
langit sedang cerah-cerahnya, saya berbicara asal yang pada intinya mengajak
kedua kawan saya untuk nyore di Bukit Kura-Kura. Ternyata kelakar tersebut
ditanggapi serius.
Dewa
segera melempar tanggal keberangkatan dan saya pun menyetujuinya. Sementara Mansur
berpikiran lain. Daripada nyore di Bukit Kura-Kura, lebih baik naik ke Gunung
Wilis sekalian, katanya. Kami bertiga saling berpandangan. Bukan sebuah ide
yang buruk saya kira. Tanpa pikir panjang saya sepakat dengan Mansur. Hal yang
sama juga dikatakan Dewa. Kebetulan saya juga sudah cukup lama tidak naik
gunung.
Kemudian
kami berbincang tentang tanggal pendakian dan diputuskan tepat minggu depan
kami akan berangkat. Perihal logistik makanan, kami sedikit diuntungkan karena
di rumah cukup banyak makanan yang hanya tinggal dibawa. Pekerjaan rumah kami
hanya memenuhi peralatan mendaki yang masih kurang dan hal tersebut relatif
mudah didapatkan. Entah itu meminjam atau menyewa.
Hal
selanjutnya yang kami bahas adalah tentang jalur via mana yang harus kami
pilih. Kami bertiga belum pernah mendaki ke Gunung Wilis sebelumnya. Tapi kami tahu ada beberapa via yang bisa dipilih untuk
menuju puncak wilis. Setelah berdiskusi cukup lama, kami akhirnya memilih via
Jurang Senggani. Alasannya sederhana, karena jalur tersebut yang paling
familiar di telinga kami. Dan semoga jalurnya juga bersahabat bagi kaki kami
nanti.
2 September 2023
Semua
peralatan dan perlengkapan sudah siap. Kami berangkat dari rumah pukul sebelas
siang. Cuaca cukup mendung. Doa saya cuma satu, semoga tidak hujan. Apalagi
hutan di Gunung Wilis via Jurang Senggani terkenal sebagai hutan basah yang
berarti hujan bisa turun kapan saja.
Bagi
Dewa, ini adalah pendakian keduanya setelah Gunung Budeg beberapa pekan
sebelumnya. Sebenarnya pada akhir tahun 2021, dia punya kesempatan untuk
merasakan pendakian pertama namun karena waktu itu dia tengah sibuk, maka
hasrat untuk mendakinya harus ditunda. Dan baru tahun ini, dia benar-benar
merasakan bagaimana rasanya sensasi mendaki sebuah gunung.
Selang
tiga puluh menit, kami sampai di basecamp Jurang Senggani. Tempat ini adalah
pintu awal pendakian Gunung Wilis via Jurang Senggani. Kami kemudian melakukan
registrasi di pos perizinan. Sedikit bertanya-tanya tentang estimasi waktu pendakian.
“Untuk
sampai ke sunrise camp di kisaran enam sampai delapan jam,” terang salah
seorang petugas pos perizinan.
Kami
mengangguk-angguk. Informasi tersebut sangat penting bagi kami. Namun ada satu
lagi informasi yang tidak kalah penting. Tentang mata air di jalur pendakian.
Menurut infotmasi yang kami dengar dari teman-teman yang pernah mendaki ke sini, terdapat mata air di jalur pendakian.
“Sampean
bisa mengambil air di antara pos tiga dan pos empat, Mas. Jadi dari bawah hanya
perlu bawa air secukupnya saja dan botol kosong. Biar enggak terlalu berat
beban bawaan.”
Berbekal
informasi tersebut kami akhirnya hanya membawa dua botol air mineral ukuran
besar berisi air dan lima botol air mineral kosong. Kami lantas melakukan
packing terakhir.
Pukul
setengah satu, kami mulai pendakian. Cuaca masih mendung. Bahkan langit semakin
hitam. Tapi saya percaya diri bahwa tidak akan turun hujan. Kepercayaan diri
saya bukan tanpa dasar. Menurut penuturan petugas pos perizinan, sudah lama Gunung Wilis tidak diguyur hujan. Paling mentok hanya mendung saja.
Di
awal pendakian kami disuguhi oleh pemandangan hutan pinus yang teduh. Trek terbilang masih enak karena kami banyak menemukan jalur landai. Di
sisi lain, jalur landai berarti di fase awal pendakian kali ini kami akan
disuguhi oleh trek yang panjang. Benar saja sudah satu jam lebih berjalan, kami
belum menemukan pos satu.
Oh iya, sebelum pendakian kami sudah terlebih dahulu bersepakat kalau perjalanan nanti akan sangat santai. Jadi kami lebih banyak istirahat.
Tak
berselang lama kami sampai di pos satu. Sengaja kami tidak beristirahat dan
terus melanjutkan perjalanan hingga tiba pada sebuah persimpangan jalan. Jalur
datar lurus ke depan tertulis petunjuk ke arah air terjun jurang senggani.
Sementara jalur menanjak arah kanan menuju puncak Gunung Wilis.
Saya
menelan ludah. Itu tanjakan yang menantang. Dewa sempat mempertanyakan apakah
jalur tersebut benar atau tidak. Dia cukup terkejut melihatnya. Bagaimana
tidak, setelah satu jam lebih melewati jalur landai yang memanjakan kaki, kini
kami langsung dihadapkan oleh tanjakan. Namun melihat plang petunjuk, sangat
meyakinkan bahwa kami mau tidak mau harus melewati tanjakan tersebut. Pendakian
baru benar-benar dimulai.
Kita
tidak pernah tahu seberapa besar tantangan yang harus dihadapi sebelum kita
mencoba dan berusaha melewatinya. Angan-angan hanya akan membuat segala
sesuatunya terasa berat. Dewa bergegas maraih akar pohon dan mencari injakan.
Dengan gerakan tubuh lincah, dia mendorong tubuhnya ke atas. Giliran
Mansur dan saya mengikutinya. Ternyata tidak sesulit yang kami bayangkan. Bahkan
hal seperti ini sudah biasa saya temukan di pendakian-pendakian sebelumnya.
Selepas
itu kami terus disuguhi oleh jalur menanjak. Perjalanan ke pos dua terasa sangat
menguras tenaga. Sedikit-sedikit kami mengambil istirahat. Air yang kami bawa
dari bawah tinggal separuh. Semoga cukup sampai menemukan mata air.
Tibalah
kami di pos dua. Kami mengambil rehat cukup lama di sini. Hutan yang lebat dan
langit mendung membuat suasana terasa lebih gelap dari biasanya. Padahal jam
baru menunjukkan pukul setengah empat lebih sedikit. Ini belum separuh
perjalanan. Kami harus bergegas. Target kami sebelum gelap, kami harus sudah
sampai di mata air.
Jarak pos dua ke pos tiga terbilang cukup dekat. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit dengan banyak trek landai. Tidak ada tanjakan yang berarti di sini. Namun kami tidak boleh senang terlebih dahulu.
Karena pada dasarnya tidak ada kesenangan yang didapatkan tanpa adanya kesulitan.
Kami
lanjut berjalan melewati pos tiga. Menurut informasi dari pihak basecamp,
terdapat mata air di depan sana. Semakin lama kami berjalan terasa semakin jauh
juga angan-angan keberadaan mata air itu. Sisa air di botol kami hanya tinggal
separuh. Langit juga semakin petang. Pikiran kami melayang. Di mana letak mata
air itu?
Situasi
semakin sulit ketika kami terus dihadapkan oleh tanjakan yang semakin menyiksa
kaki. Mansur beberapa kali mengajak berhenti. Kondisi fisiknya tidak lagi
prima. Dewa di depan sana berteriak, katanya dia mendengar suara air mengalir. Sontak
wajah kami langsung merekah. Itu kabar yang paling bagus saat ini. Mansur
langsung berdiri demi mendengar suara gemericik air. Kelelahannya terusir
sejenak.
Apa
yang kami yang harapkan ternyata tidak kunjung tiba juga. Suara air itu seolah igauan semata. Kami sudah lima menit berjalan tapi tidak ada tanda-tanda
bahwa kami akan sampai di mata air. Apalagi hari sudah semakin petang. Pesimis mengerubungi
kami. Sebenarnya berjalan lima belas menit itu tidak terlalu jauh tapi
dengan tenaga yang lemah ditambah beban berat di pundak membuat semuanya terasa lebih buruk.
Bertepatan
dengan magrib kami akhirnya sampai di persimpangan jalur mata air. Saya melihat
jam. Sudah setengah enam sore. Kami beristirahat sebentar sembari menambah
persediaan air. Tidak banyak obrolan di sini. Hening. Udara dingin menyelusup. Nan
jauh di sana suara hewan hutan seperti berteriak. Pertanda bahwa di bawah sana
azan sedang dikumandangkan.
Setengah
jam kemudian kami lanjut berjalan. Pos empat masih jauh. Senter dinyalakan. Dunia
telah sepenuhnya petang. Berjalan beberapa langkah tiba-tiba Mansur mengajak
berhenti. Raut wajahnya pias. Saya memastikan keadaannya. Katanya baik-baik
saja. Dia hanya butuh istirahat beberapa menit.
Apa
yang dikatakannya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi setelahnya. Kondisi fisiknya
benar-benar terkuras. Berjalan beberapa langkah, dia mengajak berhenti.
Wajahnya pucat. Napasnya tersengal. Kami mengambil rehat di tanah cukup luas
untuk nge-camp.
“Gimana,
Sur? Nge-camp di sini aja ya?” tanya Dewa.
Mansur
diam, kepalanya menunduk. Perlahan dia menggeleng. “Aku masih kuat. Tapi
jalannya pelan-pelan.”
“Wajahmu
pucat. Kau tidak harus memaksakan diri.” Saya sepakat dengan Dewa. Dengan kondisi
seperti ini, melanjutkan perjalanan bukanlah pilihan yang bijak.
Terjadi
diskusi yang panjang terkait hal ini. Mansur terus ngeyel ingin melanjutkan
perjalanan. Ini mengingatkan saya pada pendakian ke Gunung Kelud akhir tahun
2021 lalu. Kondisi fisik Mansur saat itu sudah menurun drastis tapi dia terus
berusaha untuk menggapai Puncak Kawah. Ternyata keteguhan dan ketekatan
berhasil membuatnya mencapai puncak kawah. Dia benar-benar melawan batas
kemampuan pada saat itu.
Malam
ini pun sama. Kami akhirnya menuruti Mansur untuk melanjutkan perjalanan. Di
jalur pendakian, Mansur memompa semangatnya. Dia berjalan perlahan. Saya di
belakangnya menjaganya. Sementara di depan Dewa menjadi penunjuk jalan. Hingga
tiba di pos empat, saya dan Dewa kembali bertanya kepada Mansur. Apakah mau
buka tenda di sini saja. Tegas Mansur menjawab tidak. Dia masih kuat.
Perjalanan
selanjutnya menuju pos lima. Perlahan kami menjahit langkah. Obrolan benar-benar
tiada. Kami hanya fokus pada langkah kaki. Sesekali kali kami harus
mengeluarkan tenaga ekstra ketika berhadapan dengan tanjakan yang cukup tinggi.
Hal sama terjadi ketika perjalanan dari pos lima ke pos enam.
Pos
enam ke sunrise camp, tenaga saya dan Dewa semakin berkurang. Kami istirahat
sebentar untuk memulihkan tenaga. Senter saya mulai meredup. Di atas sana, dari
balik-balik pepohonan terlihat jelas bulan purnama yang bersinar. Bundar sempurna.
Satu
menit kemudian, kami lanjut berjalan. Trek semakin sulit. Kami harus meraih
akar-akar pohon untuk meunju dataran di atasnya. Dewa bilang dia akan berjalan
terlebih dahulu untuk mencari tahu apakah sunrise camp masih jauh atau tidak.
Saya dan Mansur di belakang dengan sisa-sia tenaga. Tapi kabar baik itu
datang juga. Dewa berseru di depan sana. Sunrise camp sebentar lagi.
Benar
saja, tidak berselang lama kami telah sampai di sunrise camp. Tempat terindah
di Gunung Wilis via Jurang Senggani. Kami bertemu dengan dua pendaki lain.
Sejenak berbincang lantas mendirikan tenda. Kasihan Mansur, dia sudah terbaring
saking lelahnya. Selepas itu kami memasak, mengisi kembali tenaga. Mansur sudah meringkuk di dalam tenda. Biarlah dia beristirahat setelah terus memaksa dirinya di jalur
pendakian tadi.
3 September 2023
Setelah
makan, tadi malam kami langsung terlelap. Tidak banyak cengkerama. Sayang,
tidur kami sedikit terganggu dengan angin yang sangat kencang. Saya bisa
mengingat, saking kencangnya, tenda kami seperti digebuk oleh benda tumpul. Ditambah
hawa yang sangat dingin. Ini adalah pengalaman pertama saya tidur dengan hawa
sedingin itu. Seperti tidur di dalam kulkas.
Jam
empat kami bangun. Membuka tenda. Seketika kami menganga dan takjub. Dari arah
timur, siluet kemerah-merahan menunjukkan pesonanya. Matahari bersiap
menampakkan diri. Bukan hanya itu saja. Lautan awan di hadapan kami benar-benar
cantik. Saya tidak berhenti mengucap syukur. Betapa indah lukisanmu ini, Tuhan.
Kami diam dan melamun sembari menyaksikan pemandangan menakjubkan tersebut. Ini
adalah kami pertama saya melihat lautan awan setelah beberapa kali pendakian. Di
pendakian sebelum-sebelumnya saya banyak menjumpai kabut di puncaknya. Namun pagi
ini, saya benar-benar merinding melihatnya.
Saya
teringat cerpen dari Bung Seno Gumira yang berjudul ‘Sepotong Senja Untuk Pacarku’. Di dalam tulisan indah itu, Sukab membawakan senja untuk kekasihnya,
Alina. Namun saya tidak ingin menjadi Sukab yang hanya sekadar membawakan senja
untuk Alina dengan bantuan tukang pos. Kelak, saya ingin membawa seseorang yang
saya cintai melihat sunrise di puncak tertinggi. Dengan kehangatan matahari dan
keindahan lautan awannya, itu pasti akan menjadi sebuah pengalaman yang mahal
dan sulit dilupakan.
Selesai
menikmati lautan awan dan sunrise, kami melanjutkan menuju ke Puncak Slurup
dengan ketinggian 2053 MDPL. Posisinya tidak jauh dari sunrise camp. Hanya tinggal
berjalan beberapa menit saja dengan trek yang landai. Sebenarnya kami masih
punya kesempatan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak wilis Tulungagung
dengan ketinggian sekitar 2200 MDPL. Namun dengan berbagai pertimbangan, kami
memutuskan untuk kembali dan turun.
Perjalanan
turun bukan tanpa masalah. Mansur seperti berjalan seperti kilat. Dia berada
jauh di depan. Tidak seperti tadi malam yang seakan mau menyerah jika melihat
pucat wajahnya. Permasalahan berada di kaki saya dan Dewa. Kaki kami berdua
sama-sama lecet. Tidak bisa dibuat berjalan cepat. Perjalanan turun memang
lebih cepat tapi juga lebih memerlukan tenaga. Menahan beban badan lebih
menyulitkan dibanding membawanya ke tanjakan.
Tidak
ada yang lebih menyenangkan dari obrolan bersama kawan di jalur pendakian. Karena
di sana akan banyak pembahasan yang tidak mungkin keluar di tongkrongan biasanya.
Tidak ada yang lebih bangga melihat seorang kawan yang berjuang mati-matian
menuju puncak yang diinginkannya. Ia melawan batas kemampuan, meningkatkan
kekuatan tubuhnya. Dalam setiap langkah ada jahitan semangat. Ada patah dirangkai
menjadi bungah. Ada kesulitan yang diubah menjadi
kesenangan. Karena pada dasarnya kita adalah manusia yang hanya punya tekad
demi mewujudkan akad.
Salam
literasi.
Mengudara
dari Gunung Wilis.
Ngueri🤣
BalasHapusyok ikut mendaki
Hapus