Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dukun Abal-Abal | Setan's Inferno Episode 6

 

Dukun Abal-Abal | Setan's Inferno Episode 6

Di dunia ini hanya ada tiga dukun yang bisa dipercaya. Dukun sunat, dukun pijat, dan dukun beranak.

Dukun Abal-Abal | Setan's Inferno Episode 6

SRAWUNGHari ini pemakaman kembali kedatangan penghuni baru. Penghuni yang sangat mengejutkan banyak setan yang sudah lama mukim. Ini bukanlah sebuah mimpi. Toh tidak ada lagi mimpi di dunia setan. Ini kenyataan. Tercengang para setan dibuatnya.

Tadi siang serombongan pengantar jenazah mengantarkan seorang yang dihormati semasa hidup. Tua, muda, ibu-ibu, dan dewasa, semua mengiringi peristirahatan terakhir sesorang tersebut. Acara pemakaman berlangsung hikmat. Tidak ada gurau di antara para pelayat. Yang ada hanyalah duka mendalam. Tangis duka tumpah di tiap-tiap mata.

Jenazah diturunkan. Dihadapkan ke kiblat. Suara adzan menalu kemudian. Tanah perlahan-lahan menutupi liang. Nisan ditanam. Bunga ditaburkan. Doa-doa dipanjatkan. Sisa kerinduan itu masih membekas. Kesedihan ditinggalkan insan paling berjasa.

Prosesi pemakaman selesai. Semua pelayat pulang ke rumah masing-masing. Berdesakan. Namun, di antara para pelayat yang ramai, terselip wajah Karmani yang tampak murung. Karmani sang calon anggota dewan yang berkali-kali gagal. Dia berjalan gontai meninggalkan area pemakaman.

Setan Pejabat yang memandang dari kejauhan nampak bingung. Siapa yang baru saja dikuburkan hingga seorang Karmani datang? Apakah kerabatnya? Atau kawan baiknya? Semua pertanyaan itu mengikat di pikiran Setan Pejabat.

Sebagai imbal rasa penasaran, akhirnya dia mendekati kuburan baru itu. Wangi bunga-bungaan masih tercium pekat. Bahkan rasa hangat dari para pelayat masih bisa dirasakan. Setan Pejabat menunduk. Memeriksa saksama. Betapa terkejutnya dia membaca nama ‘PONIDI’ yang tertulis di nisan. Dia mencoba meyakinkan. Barangkali penglihatannya salah. Namun mata setan tidak pernah meleset. Itu adalah dukun yang dia pakai jasanya dulu. Tidak salah lagi.

“Orang bernama Ponidi banyak kali,” kata Setan Satpam mengagetkan.

“Heh, kau tahu isi pikiranku?”

“Bukan tahu tapi dengar. Kau berkata sangat keras.”

“Aku yakin sih ini pasti dukun itu.”

“Tunggu aja dia keluar beberapa hari lagi. Biar dia ditanya malaikat dulu.”

“Enggak sabar aku.”

“Mana ada sejarahnya seorang pejabat itu sabar.” Setan Satpam tertawa. “Kalau dia keluar sekarang terus kau mau apa?”

“Bertanya mengapa dia membantu Karmani.”

“Itu aja pertanyaanmu? Dia itu dukun. Di mana ada uang ya dia kerjakan. Seperti kau.”

“Kok malah aku?”

“Jangan berlagak tolol kau. Kau itu sama saja seperti si Ponidi ini. Di mana ada proyek besar pasti kau ‘manfaatkan.’” Setan Satpam menekankan pada kata ‘manfaatkan’.

“Terserah kau bilang apa. Yang penting aku mau tungguin dia di sini sampai keluar.”

“Halah, sia-sia kau di sini.”

Selepas itu Setan Satpam pergi meninggalkan Setan Pejabat yang menunggu kemunculan dukun Ponidi. Seorang dukun yang dahulu berhasil memenangkan Setan Pejabat hingga menjadi anggota dewan terhormat. Akan tetapi sekarang dia malah mengubah haluan untuk memenangkan Karmani.

***

Berhari-hari Setan Pejabat menunggu di samping kuburan dukun Ponidi. Dia hanya pulang saat malam tiba. Selama itu pula dia tidak menemukan apa yang dia tunggu. Nihil. Dukun Ponidi kunjung menampakkan diri.

Baru setelah tujuh hari, dukun Ponidi akhirnya keluar. Dia menunjukkan ekspresi yang sama dengan apa yang ditunjukkan Setan Selebgram pertama kali keluar kuburan. Kaget. Lebih terkejut lagi dia sudah ditunggu oleh Setan Pejabat. Wajahnya terlihat kesal dicampur lesu. Kesal karena dukun Ponidi telah membantu Karmani. Lesu karena menunggu dukun Ponidi tidak keluar kuburan.

“Loh, eh, pelanggan setiaku.” Setan Ponidi mencoba mencari kalimat pembuka yang tepat untuk Setan Pejabat.

“Hallaahh ... Jangan sok asyik kau,” ketus Setan Pejabat.

“Eh, duduk dulu kita biar tidak tegang,” ajak Setan Ponidi. Dia berusaha berbicara selembut mungkin.

Malam ini suasana pemakaman amat tenang. Tidak ada polah Setan Anak yang berlari-larian. Pun juga Setan Preman dan kawan-kawannya yang berisik bermain kartu remi. Pasal bahwa tidak ada manusia lagi yang takut kepada setan itu masih berlaku. Tapi di sisi lain, semakin lama para setan juga ogah keluar area pemakaman lagi. Mereka sudah terlalu nyaman berada di tempat semestinya.

Kalau pun ada setan yang keluar, itu pun hanya mencari udara segar atau menonton debat calon presiden di salah satu rumah penduduk seperti yang dilakukan Setan Pejabat beberapa hari yang lalu.

Setan Satpam datang dengan santai menemui Setan Pejabat. Dari sinilah dia pertama kali melihat wajah Setan Ponidi, seorang dukun yang diceritakan oleh Setan Pejabat sewaktu Karmani memberikan sesajen ke pohon beringin.

“Jadi kau benar membantu Karmani?” tanya Setan Satpam seolah dia sudah kenal lama dengan Setan Ponidi.

“Bukan begitu Bang, aku hanya mengambil kesempatan saja.” Setan Ponidi mencoba ngeles.

“Jangan panggil aku ‘Bang’. Umur kau jauh sekali lebih tua dari aku.”

“Kau bilang dulu setia pada partaiku,” samber Setan Pejabat.

“Namanya juga ekonomi. Kadang naik kadang turun.”

“Inilah kalau semasa hidup mikirin duit terus.”

“Kufur nikmat,” ejek Setan Pejabat kepada Setan Ponidi.

“Kau juga, Tolol.”

Di kuburan paling barat, berjarak satu liang dari pagar, Setan Selebgram tengah asyik joget-joget sendiri. Kebiasaannya ketika di alam dunia sulit dihilangkan.

Sementara Setan Ponidi mencoba mengenali lingkungan barunya sembari diinterogasi oleh Setan Pejabat dan Setan Satpam. Dia mulai mengerti jika pemakaman ini hanyalah pemakaman umum biasa. Para penghuninya juga random. Tidak semua berasal dari kalangan rakyat biasa. Banyak sekali yang dahulu menjadi pejabat elit juga akhirnya tinggal di sini. Hidup sama rata ketika di alam setan.

“Kata nih orang kau hebat sekali membuat orang menjadi pejabat,” tunjuk Setan Satpam.

Setan Ponidi memandang Setan Pejabat dan Setan Satpam dengan geli. Dia kemudian tersenyum tipis. “Aku ini aslinya orang biasa, Bung. Peranku hanya bantu doa saja.”

“Tapi rata-rata kok tembus semua?”

“Itu kebetulan, Bung. Tidak ada istilahnya sesama manusia membantu mencari jabatan.”

“Tapi doamu manjur banget.”

“Kebetulan. Kalau pun manjur, kenapa aku dua tahun lalu mencalonkan jadi lurah tidak pernah kepilih?”

“Kau lupa pada pamormu. Kau mungkin tidak menggunakan itu.”

“Begini ya, Bung. Aku itu hanya manusia biasa. Aku sebenarnya tidak percaya tuh yang namanya dukun. Eh, salah. Koreksi. Aku percaya sama dukun. Tapi hanya tiga saja yang kupercaya. Dukun sunat, dukun pijat, dan dukun beranak. Selain itu pembohong. Kalau pun ada orang dengan kemampuan di atas orang normal, pasti dia akan menyembunyikannya. Tidak mengaku-aku,” terang Setan Ponidi.

“Kau mengaku-ngaku, Orang Tua.” Setan Pejabat mencoba menyudutkan posisi Setan Ponidi.

“Mana pernah. Justru kau dan kawan-kawanmu yang sok pengen berkuasa itu yang membesarkan namaku. Kalau aku ya nurut aja. Lha wong juga dapat uang.”

“Kalau begitu kau pembohong.”

“Kalau aku pembohong, kau itu apa, heh? Kau malah lebih parah. Memanipulasi janji.” Setan Ponidi sedikit tersentak.

“Sia-sia aku bayar kau mahal-mahal,” gumam Setan Pejabat.

“Heh, uangmu kembali lebih banyak dari proyek yang kau kerjakan.”

Setan Pejabat diam. Tidak berkutik. Sebenarnya dua setan tersebut berada dalam posisi tersudut semua. Mereka sama-sama bertahan supaya terlihat tidak bersalah. Apa yang dilakukan Setan Ponidi selama hidup bukanlah hal yang dibenarkan. Sok bisa padahal tidak mengerti apa-apa. Pun juga Setan Pejabat. Mempercayai dukun sebagai garda depan dalam memenangkan pencalonannya dulu.

“Aku mau masuk dulu. Kalau kalian mau di sini silakan. Capek aku seminggu ini digempur pertanyaan oleh malaikat.” Setan Ponidi langsung masuk ke liangnya.

Setan Pejabat masih diam di tempat. Menelan ludah keras.

“Sama-sama salah kok masih ngeyel,” gerutu Setan Satpam yang sedari tadi menonton Setan Ponidi dan Setan Pejabat berdebat. Dia beranjak pergi. Meninggalkan Setan Pejabat sendiri.

Setan Pejabat berbaring di samping kuburan Setan Ponidi. Dia mengawang ke atas. Langit cerah. Bulan sabit menggantung cantik. Matanya perlahan terpejam. Berhari-hari berada di kuburan Setan Ponidi membuatnya lupa pulang. Melupakan kuburannya yang disebut sebagai kuburan paling mewah di area pemakaman. Tanpa disadari mulutnya berceloteh, “Enak juga ternyata tidur di kuburan sederhana.”

Bersambung.

Posting Komentar untuk "Dukun Abal-Abal | Setan's Inferno Episode 6"