Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yang Penting Ada Uang | Setan's Inferno Episode 4

 

Yang Penting Ada Uang | Setan's Inferno Episode 4

Apapun kepentingannya jika ada uang pasti akan lancar. Mau teman atau lawan, pasti akan berpegang tangan. Menyingkirkan segala rivalitas dan rasa gengsi.

Yang Penting Ada Uang | Setan's Inferno Episode 4

SRAWUNGSatu minggu kemudian. Tepat malam Rabu pukul setengah dua belas malam Karmani kembali datang ke tempat pemakaman dengan membawa sesajen dan dupa. Ditemani Plonco—seorang kawannya yang berkepala botak, mereka berdua langsung menuju ke pohon beringin belakang tempat pemakaman. Mereka berjalan berani tak memedulikan sekitar. Bodoh amat perihal setan dan perangainya, toh mereka tak ambil pusing tentang keberadaan setan. Bermodal ponsel paling terbaru sudah pasti setan langsung terbirit-birit.

Karmani meletakkan dupa, membakarnya. Disampingnya sesajen berisi bunga mawar merah, bunga kenanga, empon-empon, wewangian, dan selirang pisang. Isi yang sama seperti yang dibawanya minggu lalu.

“Mbah ... saya kembali ke sini. Ini saya bawa makanan untuk Mbah.” Karmani memulai ritual. Menyembah sang pohon beringin.

“Mohon doanya juga Mbah, tahun depan saya nyalonin jadi anggota dewan. Semoga bisa kepilih.”

Malam ini Karmani aman dari serangan Setan Preman. Pasalnya setan bertato clurit di lengan tersebut tengah jalan-jalan ke pemukiman warga. Sementara Plonco dengan tenangnya duduk di atas pusara seseorang dan menghisap kretek.

“Benar kan kataku, dukun Karmani itu sama dengan dukunmu dulu,” ujar Setan Satpam kepada Setan Pejabat.

Mereka berdua serta Setan Pemulung berkumpul di atas liang Setan Pejabat.

“Alah kebetulan.” Setan Pejabat tidak terima dikatakan mempunyai dukun yang sama dengan Karmani.

“Sudah jelas, dia datang lagi pada malam Rabu. Sesuai dengan katamu minggu lalu.”

“Belum tentu. Bisa jadi isi sajennya beda.”

“Kita buktikan sekarang!”

Mereka berdua menuju ke pohon beringin. Di belakangnya Setan Pemulung membuntuti. Sedari tadi dia hanya menyimak perdebatan kedua setan tersebut.

Sesampai di pohon beringin, Karmani tengah merapal permohonan. Mulutnya komat-kamit, matanya terpejam, kepalanya menunduk dalam. Pertanda dia sangat serius. Plonco sangat sabar menunggu kawannya tersebut.

“Nah kan benar. Isinya sama persis dengan minggu lalu.” Setan Satpam merasa menang karena mengetahui isi sajen Karmani sama dengan minggu lalu. Itu berarti juga sesuai dengan apa yang dikatakan Setan Pejabat.

“Ah, masa iya dia punya dukun yang sama denganku dulu.” Setan Pejabat masih tidak terima.

“Ya terima nasib. Apa susahnya?” canda Setan Pemulung.

“Bukan itu, Karmani kan rivalku. Kami sama-sama perang dingin dulu. Masa kita bergantung pada dukun yang sama,” jelas Setan Pejabat.

“Rival kan saat kau masih hidup.”

“Enggak tahu diri banget dukunnya. Jelas-jelas dia tahu rivalitasku dengan Karmani. Eh giliran aku mati dia malah memihak sontoloyo ini.”

“Tahu sendiri dukun itu yang penting ada duitnya. Mana mikir dia tentang kesetiaan.”

Setan Pejabat dan Setan Pemulung diam setelah mendengar kalimat Setan Satpam. Benar juga apa yang dikatakannya. Dukun akan selalu melayani setiap klien yang datang. Membuang segala intrik dan rivalitas antar kliennya. Yang penting ada uang dan pekerjaan beres. Toh nanti kalau pekerjaannya tidak berhasil ya tinggal bilang saja bahwa itu kembali kepada kehendak Tuhan. Aman.

“Bentar, ini dukunmu mengajarkan kesederhanaan atau emang kliennya yang kere?” tanya Setan Pemulung. Dia berjongkok di depan sajen.

“Kenapa?”

“Masa dari minggu lalu sajennya enggak ada daging-dagingan. Pisang mulu isinya.” Setan Pemulung menunjuk selirang pisang.

“Itu suruhan dukunnya. Kalau kliennya mau nambahin sendiri ya silakan,” jawab Setan Pejabat.

“Kau dulu nambahin apa?”

“Uang receh berjumlah lima ribu dan ceker ayam lima biji.”

“Lumayan sih daripada ini. Pisang terus, pisang terus. Dipikir penghuni sini pada kagak lancar berak kali ya.”

Karmani menyelesaikan ritualnya dengan memberi sembah penghormatan sebanyak tiga kali. Dia lantas mengajak Plonco untuk pergi. Sesaat setelah Karmani lenyap dari remangnya tempat pemakaman, ketiga setan juga kembali ke atas kuburan Setan Pejabat. Terkecuali Setan Pemulung, dia langsung kembali ke kuburannya sendiri. Rasa kantuk sudah menyerangnya.

“Kok aku masih enggak yakin ya kalau Karmani punya dukun yang sama denganku.” Mata Setan Pejabat mengawang.

“Buktinya sudah jelas. Kok pakai enggak yakin segala,” timpal Setan Satpam.

“Dukunku itu langganan dari kader partai ungu terong. Dia juga pernah ngomong kalau enggak akan terima tawaran dari partai lain.”

“Karmani partainya apa?”

“Partai putih salju.”

“Yang logonya ada gambar babi jantan itu.”

Setan Pejabat mengangguk.

“Gila. Padahal itu partai kuat tapi kok anggotanya main dukun ya.” Setan Satpam menggeleng-geleng heran. Tidak habis pikir.

“Heh, heh, heh ... Berisik banget! Ganggu waktu tidur kau berdua,” ujar Setan Sopir yang merasa gerah dengan suara berisik dari atas liang.

Dia keluar dari liangnya karena merasa terganggu saat tengah tidur. Kebetulan kuburannya tepat berada di samping kuburan Setan Pejabat. Ronanya marah. Sejak masih hidup dulu dia memang dikenal sebagai sopir yang pemarah. Kalau ada kendaraan lain yang menganggu angkotnya sudah pasti langsung kena semprot olehnya.

Setan Pejabat dan Setan Satpam meminta maaf. Mereka berdua juga tak tahu kalau Setan Sopir sudah tidur.

Setan Sopir lantas kembali ke liangnya. Meneruskan tidur. Siapa tahu ketemu bidadari lewat mimpi.

Perhatian Setan Pejabat dan Setan Satpam teralihkan oleh kedatangan Setan Pemabuk. Dia datang sempoyonan. Efek suka minum minuman keras ketika di dunia sesekali masih terasa hingga ke alam setan.

“Ada penghuni baru mau datang,” ujar Setan Pemabuk.

“Dari mana kau tahu?” tanya Setan Pejabat penasaran. Sama penasarannya dengan Setan Satpam.

“Kalian enggak lihat ada tukang gali kubur di sisi paling barat sana?”

“Mana kita tahu. Dari sini enggak kelihatan. Gelap.”

Apa yang dikatakan Setan Pemabuk benar adanya. Lima menit lalu, enam orang tukang gali kubur membawa peralatannya ke sisi paling barat kuburan. Tepat selisih satu kuburan dari pagar. Setan Pemabuk tadi habis tiduran di atas pagar tersebut. Setelah tidak ditakuti lagi oleh manusia, kini dia lebih banyak tiduran tidak jelas di sembarang tempat.

“Kalian tahu penghuni baru itu siapa?” tanya Setan Pemabuk.

“Mana kita tahu. Kau baru saja memberi tahu kami.”

“Dia orang kaya.”

“Siapa?”

“Terkenal di media sosial.”

“Namanya?”

“Fansnya banyak.”

“Heh, Bodoh. Kalau memberi informasi itu langsung pada intinya. Siapa namanya?”

“Enggak tahu sih. Tapi yang jelas dia kaya dan terkenal.”

“Kau mau aku matiin dua kali? Kesel banget.” Setan Satpam sangsi. “Kau lupa hukum di pemakaman ini apa, hah?”

Setan Pemabuk mencoba mengingat-ingat. Hukum di tempat pemakaman? Tidak pernah dengar sebelumnya. Untuk hal-hal sedikit berat, dia memang sangat sulit diandalkan perihal ingatan. Tahunya hanya minum, minum, dan minum.

“Di sini nih, mau itu orang kaya, ketua partai, bahkan presiden sekalipun, kalau mati ya mati aja. Enggak ada spesialnya. Hormati cukup di dunia. Di sini semua bebas ngatain satu sama lain,” terang Setan Satpam.

Setan Pemabuk mengangguk-angguk. Baru tahu dia ada hukum seperti itu. Enggak penting juga baginya. Toh dia juga selalu jadi bahan olokan oleh setan-setan lain. bahkan Setan Anak pun tidak memberikan hormat kepadanya.

“Udah mau pulang aku. Capek ngomong sama kau.” Setan Satpam ngeloyor pergi. Pun juga Setan Pejabat yang langsung masuk ke liangnya. Meninggalkan Setan Pemabuk yang hanya pasrah.

Satu jam kemudian, penghuni baru tersebut datang dengan diantarkan beberapa orang saja. Terlihat dari beberapa orang tersebut terlihat raut biasa, tidak menunjukkan kesedihan. Tadi katanya kaya dan terkenal tapi yang ngikut nguburin kok hanya sedikit. Aneh. 

Bersambung.

1 komentar untuk "Yang Penting Ada Uang | Setan's Inferno Episode 4"