Hari Pembuktian | Setan's Inferno Episode 8 (Last Episode)
Jika ingin mengganggu seseorang, datanglah saat dia bahagia karena pada saat itu benteng pertahanan mereka tengah rapuh-rapuhnya.
Hari Pembuktian | Setan Inferno Episode 8 (Last Episode)
SRAWUNG - Hari
paling menentukan akhirnya tiba. Tepat enam bulan setelah dukun Ponidi
meninggal.
Sejak
pagi Setan Pejabat dan Setan Ponidi tidak sabar menunggu polling sementara pemilihan
anggota dewan. Bukan mencari tahu siapa pemenangnya, melainkan menunggu kabar
apakah partai Karmani bisa mendapat suara melimpah atau tidak. Kalau partai
Karmani bisa mendapat suara banyak, maka semakin besar Karmani terpilih menjadi
anggota dewan.
Apalagi
semenjak dukun Ponidi meninggal, Karmani harus memutar otak seribu kali supaya
bisa lolos ke gedung megah nan mewah itu. Dia menggelontorkan anggaran besar
untuk kampanye. Membagikan kaus, kalender, dan uang pesangon kepada
orang-orang. Pun juga menjanjikan hal permata yang memungkinkan menyilaukan
mata.
Kini
dia harus berdiri di kaki sendiri. Dukun Ponidi telah meninggal. Sedikit
mengusik rencana awalnya.
Di
posko pemenangan, Karmani bolak-balik menelepon orang suruhannya untuk mengecek
perolehan suara. Dia menempatkan beberapa orang di banyak kecamatan untuk
memantau langsung. Wajahnya pias. Harap-harap cemas. Sesekali tampak bahagia
setelah mendapat jawaban dari orang suruhan. Lebih sering terlihat datar
setelah menerima kabar dari orang suruhan di kecamatan.
Yang
tidak diketahui Karmani ialah Setan Pejabat dan Setan Ponidi juga menyuruh
Setan Pemabuk untuk memantau posko pemenangannya. Kedua setan tersebut juga
tidak sabar mengetahui hasil penghitungan sementara.
Setan
Pemabuk duduk tepat di belakang Karmani. Di kursi plastik kosong berwarna
hijau. Hampir semalaman dia mencari posko pemenangan ini. Dia hanya diberi
petunjuk arah oleh Setan Ponidi. Untung instingnya cepat menemukan tempat yang
dipenuhi warna putih salju dan gambar babi jantan tersebut.
Pendukung
Karmani bersorak setelah mendapat kabar kalau Karmani menang di salah satu
kecamatan. Peluang terbuka lebar. Sesumbar bukan main. Tak sia-sia mengeluarkan
banyak uang. Di belakang Setan Pemabuk hanya manggut-manggut. Memperhatikan.
Euforia
pendukung Karmani ternyata hanya bertahan beberapa saat. Satu per satu hasil
penghitungan sementara keluar. Dua kecamatan Karmani meraup suara paling
banyak. Pendukungnya bersorak. Menjunjung tinggi dukungannya. Namun setelah itu
jerat kekecewaan datang bertubi-tubi.
Di
kecamatan L Karmani kalah telak. Bahkan hanya mendapat satu suara. Karmani mengumpat.
Kemudian teleponnya diberondong oleh orang suruhannya di berbagai kecamatan
lain. Hasilnya pun sama. Karmani kalah mutlak dari calon lain. Hal itu
diperkuat oleh perolehan suara partainya yang semakin merosot menjelang sore.
Di televisi tertera partai putih salju hanya mendapat total suara sementara
sebesar 7,57%.
Kesempatan
semakin sulit ketika dia mengetahui bahwa seorang temannya di partai yang sama
merayakan kemenangan setelah suaranya mengungguli Karmani. Maklum, temannya
tersebut lebih tersohor dan lebih kaya daripada dia. Wajar sebenarnya dia
kalah.
Hening
posko pemenangan. Hanya suara angin dan gerutuan yang mengisi. Karmani memijit
kening. Tidak habis pikir. Dia sudah keluar banyak uang untuk pencalonan ini.
Tapi malah gagal. Bahkan mendekati hari-hari pencoblosan, dia juga sering
mengunjungi pohon beringin belakang area pemakaman. Itu pun juga tidak
membantu.
Karmani
menarik napas panjang. Mengembuskannya keras. Dia menghardik situasi. Mencari
dalang kegagalan. Menyayangkan kematian dukun Ponidi. Andai dukun itu tidak mati, pasti aku bisa menang, batin Karmani. Dia
sedang fase frustasi. Tidak siap menerima kegagalan. Dia telah gagal untuk
kedua kalinya.
***
Di
kuburan Setan Ponidi, dia bersama Setan Pejabat menunggu kedatangan Setan
Pemabuk. Keduanya kini hangat kembali setelah perdebatan enam bulan lalu. Dan
entah mengapa kini Setan Pejabat tidak betah berlama-lama tinggal di kuburannya
sendiri. Lebih nyaman berada di kuburan sederhana milik Setan Ponidi daripada
kuburan mewah miliknya sendiri.
Dari
arah gerbang pemakaman, Setan Pemabuk datang dengan gerak gontai. Nampak raut
kelelahan dari wajahnya. Dari semalam dia ditugaskan untuk mengamati posko
pemenangan Karmani. Belum tidur. Wajar kalau dia capai.
“Aduh,
ditungguin lama bener,” ujar Setan Pejabat.
Setan
Pemabuk terengah-engah.
“Gimana
Karmani?” tanya Setan pejabat tidak sabaran.
“Bentar
dulu. Tak istirahat sebentar. Capek juga jalan dari sini ke posko Karmani.”
Setan Pemabuk mengambil tempat di depan Setan Pejabat dan Setan Ponidi.
Setan
Pemabuk berbaring. Mulutnya kembang-kempis, menganga, berusaha menerima angin
sebanyak mungkin. Perangainya sama saja ketika masih hidup. Sama-sama minus
perihal tenaga. Badan doang pemuda, tapi tenaga aki-aki.
“Sudah
istirahatnya kan? Karmani kalah apa menang?” Setan Ponidi mengambil inisiatif
bertanya terlebih dahulu. Rasa penasarannya sama besar dengan Setan Pejabat.
“Kacau,”
jawab Setan Pemabuk singkat.
“Kacau
apanya?”
“Kalah
jauh. Karmani kalah telak.”
“Beneran
kau?”
“Buat
apa aku bohong, Pak Tua.”
Setan
Ponidi tersenyum. Pun juga Setan Pejabat. Dia malah bersorak kencang hingga
membuat setan-setan lain menatap kepadanya.
“Kalau
partainya gimana?”
“Ya
mana aku tahu.”
“Gimana
kau enggak tahu. Kau kan ngawasin.”
“Begini
ya, Pak Tua. Aku kan hanya ngawasin Karmani. Mana peduli aku pada partainya.
Mau partainya menang kek, tersungkur kek, diinjak orang kek ...,” cerosos Setan
Pemabuk
“Husss
... Sudah. Yang penting kita sudah tahu kalau Karmani gagal lagi ke kantor dewan,”
potong Setan Pejabat sekaligus mengakhiri perdebatan ringan antara Setan
Pemabuk dan Setan Ponidi.
Setan
Pejabat memandang jauh ke pohon beringin belakang area pemakaman. Dia tersenyum
geli. Ternyata beberapa hari terakhir Karmani intens ke pohon beringin tidak
membuahkan hasil. Dia juga teringat dulu ketika kerap memberikan sesajen kepada
pohon besar itu menjelang hari pemilihan suara. Nostalgia.
Sekelompok
burung emprit berhamburan dari salah satu pohon. Musabab bahwa burung gagak
penghuni asli pohon tersebut telah datang. Hari semakin gelap. Di luar sana
sorak sorai pendukung calon anggota dewan yang unggul perolehan suara semakin
gempita. Uang taruhan turun satu persatu. Mereka yang merasa kalah sibuk
menggaruk kepala serta menggigit bibir. Sementara mereka yang menang, berjoget
ria sembari mengangkat tinggi-tinggi uang taruhan tersebut. Seakan telah
mendapat garansi kekayaan seumur hidup. Padahal pada prinsipnya uang itu jika
cepat datang, maka akan cepat pergi juga.
“Dulu
itu cuma kebetulan saja,” ujar Setan Ponidi. Dia ogah dituduh lagi sebagai
orang yang bisa memenangkan bakal calon dewan.
“Percaya
aku sekarang.” Setan Pejabat mengangguk-angguk. “Berarti kalau kau bilang
kebetulan, aku menang berkat kehebatanku sendiri dong.” Setan Pejabat
membanggakan diri sendiri.
“Sombongnya
keluar,” kata Setan Pemabuk untuk kemudian pergi ke tengah area pemakaman. Di
sana banyak setan sedang berkumpul.
Setan
Ponidi menoleh. Menyipitkan mata. Tumben sekali banyak setan berkumpul di
tengah area pemakaman. Dia tidak pernah meilhat kejadian tersebut sebelumnya. Dia
mencoba bertanya kepada Setan Pejabat. Yang ditanya malah beranjak menuju
tengah pemakaman. Setan Ponidi semakin heran.
Sementara
di area tengah pemakaman, Setan Preman tengah memimpin konferensi setan
besar-besaran untuk membentuk rencana mengembalikan tugas dan tujuan setan
selama ini. Konferensi lima tahun sekali. Dia bersama para setan lain
bersepakat kalau aib ini harus segera dihentikan. Menakuti manusia adalah
kerjaan mereka. Menghasut manusia adalah tujuan mereka.
Kini
mereka harus segera mendapatkan hal itu lagi sebelum semuanya berjalan normal.
Ini kesempatan bagus. Mumpung banyak manusia tengah dilanda kebahagiaan. Kebahagiaan
menelurkan godaan. Para setan tahu cara paling mudah untuk masuk ke bidang
pertahanan manusia adalah pada saat bahagia. Dan itu pasti berhasil. Catat.
TAMAT.
Posting Komentar untuk "Hari Pembuktian | Setan's Inferno Episode 8 (Last Episode)"