Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ambivert, Buku Healing Untuk Menutup Tahun

 

foto dewe

Anak bertumbuh menjadi remaja kemudian dewasa dan menua. Begitu banyak peran yang dijalankannya dalam kehidupan. Membuatnya menjalani dua wajah atau lebih yang tidak jarang serupa dua arah berlawanan bahkan bagai dua persimpangan yang menarik ulur hatinya. Pengalaman membuatnya selalu terkikis, terukir, terjungkir. Hingga tak jarang ia memilih untuk menjalani keseharian dengan kepura-puraan.

Tokoh aku, seorang anak perempuan dari golongan masyarakat umum, mengalami dilema itu. Dilema yang bisa jadi mewakili kisah anak perempuan lainnya di sekitar kita yang sedang mencari jati dirinya. Bagaimana pola asuh, hingga persahabatan, penghianatan, dan asmara, seolah membuatnya terpaksa mengenakan berbagai persona. Topeng-topeng yang terbentuk tanpa sengaja. Topeng-topeng yang ingin dilepaskannya tanpa tersisa untuk menemukan jati diri.

***

Dari pertama kali membaca blurb, saya pikir ini adalah sebuah novel dengan pengenalan karakter di awal cerita kemudian pembaca digiring ke dalam konflik, lantas ditutup dengan penyelesaian. Hal yang membuat saya menyimpulkan demikian ialah karena di blurb dijelaskan bahwa dalam buku akan menceritakan tokoh ‘aku’ yang tengah menghadapi permasalahan.

Tebakan saya meleset. Sewaktu saya membaca keterangan dari penerbit Mojok, ternyata buku ini menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan menghadapi masa Quarter Life Crisis. Sebuah isu yang dekat dengan kehidupan anak muda dengan rentang umur dua puluhan hingga pertengahan tiga puluhan.

Buku dibagi menjadi tiga bab besar yang kemudian diranting dengan sub-bab kecil. Di bab pertama ‘Ia dan Mereka yang Berisik’ kita sebagai pembaca akan dibawa oleh sang penulis kepada permasalahan dan keresahan awam yang banyak dihadapi anak muda. Mulai dari permasalahan tentang perkuliahan, materi, dan cinta.

Selalu ada yang tidak lengkap dalam hidup.

Membaca bab pertama ini kita serasa dekat sekali dengan penulis, Arshy Mentari. Apalagi Mbak Arshy mengemasnya dengan padat dan ringkas. Omelan-omelan yang selama ini mengendap di kepala dan susah dikeluarkan, terpampang jelas. Kita seolah membaca isi pikiran kita sendiri.

Menjadi orang tidak enakan itu sulit. Mau ditawarin oleh teman perihal barang dagangannya, tidak bisa menolak. Beli saja padahal tidak butuh-butuh amat dan dompet yang tipis. Punya banyak teman tapi kalau keluar sering sendiri, tidak berani mengajak teman karena takut mengganggu waktunya. Hal-hal yang sebenarnya sederhana dan sering dilakukan oleh orang tidak enakan.

Favorit saya ada di poin ‘Basa-Basi’. Saya yang notabene tidak suka hal-hal berbau basa-basi dalam sebuah pesan Whatsapp atau keperluan apapun, merasa terwakilkan. Hei, bukankah sebaiknya kita to the point untuk hal-hal mendesak. Jika ada perlu, langsung bilang saja. Tidak usah tanya sedang di mana, lagi apa, dan pertanyaan pembuka lainnya. Justru pertanyaan pembuka tersebut memantik seseorang untuk tidak langsung membalas pesan Anda.

Pertanyaan kemudian muncul di dalam benak setiap anak muda. Apakah seorang anak muda selalu dihantui oleh krisis seperempat kehidupan? Banyak sekali kebimbangan antara terlebih dahulu mengejar karier atau memutuskan untuk menikah. Tentu, jawaban atas pilihan tersebut akan berbeda setiap orangnya. Dalam buku ini kita tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Karena dalam setiap keputusan yang diambil akan menghilangkan satu kesempatan.

Kebebasan itu kesempatan yang tidak berulang dan akan selalu berkurang.

Di bab kedua dan ketiga, permasalahan akn menjurus tentang percintaan. Bagaimana orang harus memilih dan memutuskan siapa pasangannya. Tidak ada lelucon, semua harus pasti.

Di bab ini saya merasa gaya penulisan Mbak Arshy hampir mirip dengan buku Garis Waktu. Entah saya saja yang merasa atau orang lain juga. Itu terlihat dari konsep pembuatan kalimat yang mirip dengan Garis Waktu.

Tidak ada pernikahan tanpa komitmen. Saya curiga apa yang ada di buku ini adalah pengalaman sang penulis sendiri. Soalnya bisa ngena gitu kalimatnya. Tidak mungkin orang yang tidak memiliki pengalaman hidup tentang proses menuju pernikahan akan bisa menulis sedekat itu.

Kenapa harus sulit melupakan, padahal bukan itu yang kita butuhkan. Apa gunanya lupa, bahkan hati tak punya muatan ingatan, ia hanya mengerti rasa. Kita hanya perlu menyelesaikannya, sebelum pergi, sebelum lari.

Buku ini adalh buku healing yang tepat untuk menutup tahun yang amat berat. Akhir tahun waktunya kontemplasi, mengingat apa saja hal yang sudah kita lakukan selama ini. Memperbaiki kesalahan agar tidak terulang di tahun depan. Juga merapatkan kekuatan untuk menghadapi kehidupan yang kian menantang.

Terakhir, masalah selalu bisa memilih siapa orang yang mampu menghadapinya. Masalah tidak dapat tertukar. Jangan pula memiliki pikiran untuk menukar nasib milik orang lain. seperti kata tokoh ‘aku’, "ekspektasimu kepada orang terlalu tinggi hingga kamu lupa satu hal, apa yang kamu usahakan, bayarannya tidak datang dari manusia."

Salam literasi.


Posting Komentar untuk "Ambivert, Buku Healing Untuk Menutup Tahun"