Kakakku Seorang Petani
“Sejak
pagi para petani sibuk menunggu sawah mereka masing-masing.” Mas Wahyu menunjuk
ke sebelah kanan.
“Beberapa
minggu lagi musim panen, kalau tidak ditunggu nanti padinya dihabiskan burung.”
Aku
tetap diam dalam boncengan Mas Wahyu. Aku memandang ke sebelah kanan. Hamparan
sawah terbentang. Terlihat bulir padi mulai terisi, pucuk daunnya sebagian
sudah berwarna kekuningan. Kata Mas Wahyu, hal tersebut sebagai pertanda bahwa
musim panen akan segera tiba.
Dari
kejauhan terlihat sekelompok burung yang mulai mengincar sasaran. Ketika hendak
turun, serempak para petani langsung mengusir dengan berteriak sembari
melambaikan tangan. Kemudian burung-burung tersebut gelagapan menjauh.
Motor
terus melaju meninggalkan persawahan, masuk wilayah pedesaan. Jalanan sudah di
aspal, pohon-pohon masih tumbuh dengan rindang. Terlihat juga berdiri beberapa
rumah baru.
“Sekarang
usaha kolam ikan gurami sedang ramai di sini.” Mas Wahyu mengurangi kecepatan,
menyuruhku untuk melihat ke sisi kiri jalan. Banyak petak kolam, di seputar
sisinya dipasangi jaring.
Mas
Wahyu kembali menambah kecepatan, aku tersentak. Setelah beberapa menit, motor
berhenti di sebuah rumah. Aku turun, masih bisa kurasakan kedamaian rumah ini.
Di depan rumah pohon mangga semakin tumbuh tinggi, di sampingnya masih ada
ayunan yang terbuat dari ban truk bekas. Dulu aku bersama Mas Wahyu sering
bermain ayunan itu. Bahkan kami harus berebut satu sama lain hingga kami
bertengkar kecil. Kemudian Ibu datang melerai dan menyuruh Mas Wahyu untuk
mengalah. Aku senang sedangkan Mas Wahyu bersungut-sungut.
Rumah
ini mempunyai halaman yang cukup luas. Saat aku masih kecil, sering digunakan
untuk tempat bermain. Karena aku dan kawan-kawan dulu pandai memanjat, jadi
pohon mangga di depan rumah difungsikan sebagai rumah pohon. Tak banyak ornamen
yang turut membentuk rumah pohon. Hanya papan kayu sebagai lantai dan kain
sebagai dinding. Itu saja, tak ada yang lain.
Dari
atas, kami bisa memandang bagaimana dunia bekerja. Aktivitas warga desa dengan
segala kesibukan, lanskap pedesaan yang menawan, atap-atap rumah yang
berjajaran. Belum lagi kalau sore menjelang. Potret matahari yang merangkak
turun bisa menghipnotis jutaan mata yang merekam. Indah sekali. Namun semua itu
hanya tertinggal jauh di belakang.
“Ayo
masuk, Ray. Aku ke dapur dulu.” Mas Wahyu telah berjalan di depanku. Aku
mengangguk.
Kini
aku duduk di kursi kayu, mungkin ini baru, aroma peliturnya masih tercium.
Suasananya masih sama, hanya posisi televisi yang bergeser sedikit ke kanan. Di
sebelah televisi terdapat sebuah foto, yang bisa kuingat itu adalah foto kami
berdua saat masih kecil. Aku yang masih balita, dipanggul Mas Wahyu. Senyum
lebar Mas Wahyu serta gigi kecilku menjadi gambaran yang ciamik. Kenangan di
rumah ini memang benar-benar membekas.
“Aku
pikir selera kita masih sama, kopi hitam tanpa gula.” Mas Wahyu keluar dari
dapur, membawa dua cangkir kopi hitam. Aku tersenyum, seleraku dari dulu tak
pernah berubah.
Segera
aku menyeruputnya, kunikmati. Bakat meracik kopi dari Ibu memang menurun kepada
Mas Wahyu. Rasanya pas, tidak kurang tidak lebih.
“Kamu
mau makan apa? Di dapur ada tumis kangkung dan sambal goreng tahu. Kalau kamu
mau ikan gurami, nanti aku ambilkan dulu ikannya di kolam belakang.”
“Nanti
saja, Mas.”
Aku
membuka tas, mengambil sebuah kotak kecil berisikan miniatur sepeda,
menyerahkannya kepada Mas Wahyu. Dia tersenyum dan berkata, “Kamu masih ingat
saja kesukaanku.”
Mas
Wahyu bangkit, pergi ke kamarnya. Menyimpan pemberian dariku.
***
Mas
Wahyu adalah kakakku, kami hanya berjarak tiga tahun. Ibu melarang Mas Wahyu
meninggalkanku sendirian. Jika Mas Wahyu pergi bermain, aku pasti selalu
membuntuti di belakangnya. Dia juga yang selalu berdiri paling depan di kala
aku sedang berkelahi dengan teman.
Aku
dan Mas Wahyu bersekolah di tempat yang sama, walaupun dalam rentang waktu yang
berbeda. Aku masuk SMP, dia sudah lulus. Aku menginjak SMA, dia juga sudah
keluar. Perbedaannya, aku terus melanjutkan ke jenjang perkuliahan sedangkan
Mas Wahyu tidak. Dia tidak ingin kuliah, katanya kuliah hanya menghabiskan
uang.
Setelah
aku menapaki jenjang perkuliahan, Bapak meninggalkan kami sekeluarga karena
diabetes yang berlarut. Kami bersedih selama beberapa hari. Apalagi Mas Wahyu,
dia sangat terpukul. Dia adalah orang yang paling dekat dengan Bapak. Dia juga
yang selalu diajak Bapak pergi ke sawah untuk bertani.
Kemudian
selepas kuliah, aku langsung kerja dan pindah ke kota. Sejak itu pula Ibu mulai
sakit-sakitan. Badannya semakin lama semakin menyusut, kekuatannya semakin
lemah. Sampai pada titik Ibu sudah tak kuat menahan rasa sakit yang
menggerogotinya. Lantas Ibu pergi, menyusul Bapak.
Seminggu
setelah pemakaman aku langsung kembali ke kota, tak pernah pulang kembali. Aku
terbenam dalam kesibukan pekerjaan yang membuatku lupa kampung halaman dan ini
adalah kepulanganku untuk pertama kalinya sepeninggal Ibu.
***
Mas
Wahyu keluar dari kamar, duduk di sampingku. Dia langsung melemparkan
pertanyaan, “Ada apa di kota?”
Aku
tak langsung menjawab. Mas Wahyu memang tipe orang yang kalau berbicara
langsung menusuk dan dia seolah-olah tahu maksud dari kepulanganku.
“Beberapa
tahun ini keadaan kota sedang tidak nyaman, Mas.”
“Sejak
dulu kota memang tidak nyaman, apalagi orang-orangnya. Mereka menganggap remeh
orang desa padahal mereka tidak sadar yang mereka makan itu hasil kerja keras
orang yang ada di desa,” kata Mas Wahyu dengan nada suara yang agak tinggi.
“Mas
....” Aku menatap Mas Wahyu.
Mas
Wahyu terdiam. Dia mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
“Intensitas
hujan di kota sedang tinggi beberapa tahun ini dan berakibat pada banjir. Sudah
tak bisa dihitung aku harus berganti kontrakan, Mas. Mumpung ini musim panas
dan tidak ada tanggungan pekerjaan, aku putuskan untuk pindah lebih awal.”
“Lalu
apa yang bisa aku bantu, Ray?”
“Aku
ingin kerja di sini saja, Mas.”
“Pilihan
yang bagus, Ray. Di sini pekerjaan tidak akan ada habisnya jika kamu mau terus
bergerak. Lagi pula dari dulu, aku sudah tidak setuju kalau kamu kerja ke kota.
Keadaan dan suasana di sana tidak cocok untuk kamu.”
Hening.
Aku kembali menyeruput kopi, menyulut rokok. Asap mengepul, bercampur dengan
angin lembut dari arah selatan.
Ketika
rokok menyisakan dua tiga isapan, aku melihat Mas Wahyu yang tampak berpikir,
seakan-akan hendak mengatakan sesuatu. Aku menunggu, Mas Wahyu tidak bisa
didesak.
“Situasi
kita hampir mirip, Ray,” ucap Mas Wahyu lirih.
“Maksudnya?”
“Orang-orang
itu datang ....”
“Siapa,
Mas?” Aku memotong omongan Mas Wahyu.
“Mereka
dari kota yang mengaku sebagai perwakilan dari perusahaan developer. Mereka menawarkan
uang yang cukup besar kepada para petani agar mau menjual sawah. Orang-orang
itu mendesak dengan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya.”
“Mungkin
aku bisa menebak kelanjutannya, Mas.”
“Benar,
Ray. Kamu tahu sendiri kalau orang desa sudah melihat uang dengan nominal besar.
Mata mereka berubah menjadi hijau, langsung lupa segalanya. Para petani dengan
mudah menyerahkan sawahnya, mereka tidak berpikir dampaknya ke depan.” Wajah
Mas Wahyu tampak kesal.
“Terkadang
sulit kalau situasinya seperti itu. Ada yang mau mempertahankan tapi ada juga
dengan gampangnya menyerahkan.”
“Kemarin
ada sebagian petani yang mengaku terus ditekan untuk menjual sawah,” Mas Wahyu
sejenak berhenti, “kamu ingat area persawahan tadi? Itu hampir seperempatnya
sudah menjadi milik perusahaan developer.”
“Sebenarnya
mereka membeli sawah milik petani untuk apa memangnya, Mas?” tanyaku penasaran.
“Perumahan,”
jawabnya singkat.
“Di
kota sudah padat kini di desa mau dipadatkan.” Aku menggerutu.
“Kalau
bicara soal uang memang tidak ada habisnya. Uang itu hanya cukup untuk hidup
beberapa tahun saja kemudian para petani akan bingung mencari pangan. Dengan
para petani tidak menjual sawahnya, setidaknya untuk urusan perut sudah aman.”
“Kamudari
dulu tak pernah berubah, Mas. Selalu memikirkan hidup untuk ke depannya” Aku
tersenyum.
“Terkadang
aku heran kepada mereka. Dari kecil mereka makan dari kerja keras petani tapi
pas sudah besar, mereka malah membuat resah para petani.”
“Imbasnya
sudah terasa, Mas. Sekarang di kota banyak sekali beras dari luar negeri. Aku
sempat berpikir begini, ‘apakah di desa sudah kehabisan beras sehingga penduduk
yang ada di kota sampai membeli beras impor?’ Mungkin salah satu penyebabnya
itu, persawahan banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan atau lain
sebagainya.”
“Itulah
mengapa aku sangat kesal kepada orang-orang katanya berpendidikan tinggi itu
yang seenaknya mau membeli sawah-sawah para petani. Jika mereka tidak datang,
maka petani akan nyaman-nyaman saja. Tidak dihadapkan oleh pilihan yang sulit.”
“Aku
dukung keputusan kamu, Mas,” ucapku penuh antusias.
“Aku
hanya ingin, kami, para petani tidak diganggu keberadaannya. Kalau mereka mengaku
orang-orang terpelajar seharusnya mereka membantu para petani bukan malah
mendesak dengan hasil untuk diri mereka sendiri. Dengan mereka melakukan itu
berarti mereka mempersempit lahan untuk pangan.”
Mas
Wahyu membetulkan posisi duduk, menatapku.
“Kalau
semua petani menjual sawahnya, lantas petani di desa ini habislah. Hanya
tinggal aku dan ....” Mas Wahyu menghentikan kalimatnya.
“Dan
...?” Aku mengernyitkan dahi.
“Kamu,
Ray.”
Kami
berdua tertawa. Mas Wahyu bangkit, mengambil tasku dan membawanya masuk ke dalam
kamar. Seraya berjalan, Mas Wahyu berkata sedikit kencang, “Adikku, Ray. Calon
petani baru.”
Aku
kembali terkekeh, mengikuti Mas Wahyu di belakangnya.
Cerpen ditulis oleh Rizky Hadi
Posting Komentar untuk "Kakakku Seorang Petani"