Obrolan Santai
“Hampir empat bulan kau tak datang ke rumahku.
Jika kemarin aku tidak berkunjung ke rumahmu, pasti kau juga nggak akan datang ke
sini,” ucap Roni setelah aku turun dari motor.
“Pekerjaan
di ladang tidak bisa ditinggal, Ron.” Aku menyalami Roni kemudian dia
memelukku, seolah kami berdua lama tak jumpa. Padahal baru minggu lalu Roni
berkunjung ke rumahku dan melakukan hal yang sama.
Roni
menyuruhku untuk duduk di kursi teras rumah, aku mengangguk. Roni lantas masuk
ke dalam rumah, mengambil air minum katanya. Kini aku sendiri, kualihkan
pandangan ke samping kiri. Seekor induk ayam sedang memimpin empat ekor anaknya
mengais sisa makanan di tanah.
Satu
pohon rambutan di depan rumah Roni sedang berbuah muda, tinggal menunggu waktu
rambutan itu akan berubah menjadi warna merah. Dulu, ketika sering berkunjung
ke sini, aku pasti akan membawa satu kantong besar rambutan. Dan di rumah,
adikku pasti akan senang dibawakan buah kesukaannya.
Tak
ada yang berubah dari suasana rumah ini. Sama seperti Roni yang belum
memutuskan untuk mencari pendamping hidup. Satu hal kusuka dari rumah ini,
angin sejuk selalu berembus dari arah selatan. Membuatku selalu betah
berlama-lama di sini.
Aku
mencium bau kopi dan suara langkah kaki yang mendekat. “Kopi hitam tanpa gula
untuk menyambut kawanku yang sudah lama tak berkunjung.”
Langsung
kuterima kopi itu, kuminum perlahan, kunikmati. Roni memang tak pernah
mengecewakan untuk meracik kopi.
“Kemarin
aku habis panen jagung.” Aku menyerahkan setengah karung jagung kepada Roni.
“Walaupun
kau tidak membutuhkannya, tapi ayammu itu kelihatannya sangat butuh jagung
ini.” Aku tersenyum sembari menoleh ke samping kiri. Roni tertawa, kemudian dia
mengambil segenggam jagung dan melemparkannya ke arah ayam-ayamnya.
“Kau
mau makan?”
Aku
tak perlu menjawabnya. Itu adalah pertanyaan basa-basi dari Roni dan dia sudah
tahu jawabannya. Roni mengenalku sejak kecil. Jika dia melemparkan pertanyaan
itu, aku selalu akan diam sejenak kemudian menggelengkan kepala.
“Bagaimana
panenmu kali ini?” tanya Roni.
“Sedikit
buruk tapi patut disyukuri,” jawabku pelan.
“Maksudmu?”
“Banyak
hama ulat mengganggu pertumbuhan. Selain itu tikus-tikus nampaknya sedang
bergerilya mencari makanan. Aku coba racun tapi hasilnya bukan semakin
berkurang malah semakin banyak.”
“Jangan
terlalu kau pikirkan. Nanti cepat putih rambutmu.”
“Ngapain
dipikirin. Lagi pula aku juga sudah terima uang dari hasil panen.”
“Berlagak
kau.”
Kami
berdua tertawa. Roni mengeluarkan sebungkus keretek, menawarkannya kepadaku.
Aku mengambil sebatang, menyulutnya. Kepulan asap segera diterpa angin sore
yang berembus.
“Kau
tunggu sebentar. Aku kandangkan ayam-ayamku dulu,” ujar Roni. Aku menambil
tisu, mengelap keringat yang menutupi dahi. Cuaca sedang bergelora beberapa
minggu ini.
***
Roni
adalah teman sebayaku. Pertemanan kami seolah turun-temurun dari Bapak kami.
Dulu bapakku sering berkunjung ke rumah bapaknya Roni dan aku selalu diajak.
Sejak itu kami menjadi berteman akrab juga kami sengaja ditempatkan dalam
sekolah yang sama. Walaupun kami berbeda desa, tetapi apalah arti jarak kalau
jiwa pertemanan sudah menyatu.
Kalau
ada pepatah yang mengatakan: bagai pinang dibelah dua, mungkin itu juga berlaku
pada kami. Khususnya pada masa-masa sekolah. Tetapi ketika kami sudah lulus,
kami menjadi jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
Ada
satu cerita menarik. Ketika dulu sebelum pengumuman kelulusan SMA, semua siswa
di sekolah kami bingung karena memilih tempat kuliah, terkecuali kami berdua.
Kami memutuskan untuk tidak kuliah, walau harus mendapat pertentangan dari
orang tua. Kami ingin membuktikan bahwa untuk sukses tidak melulu tentang
kuliah tapi masih banyak cara yang lain.
Roni
memutuskan untuk membuka usaha ikan gurami sedangkan aku menggarap ladang milik
orang lain. Hasilnya cukup memuaskan, walaupun tidak banyak tetapi setidaknya
kami bisa menghasilkan sesuatu dari keringat sendiri.
Satu
yang kusuka dari sifat Roni, dia tidak pernah marah kepada orang. Pernah sesekali
aku pancing dia untuk mengeluarkan emosinya, usahaku selalu menemui jalan
buntu. Ketika aku tanya, jawabnya selalu enteng, “Daripada mulutku dibuat untuk
memaki orang, lebih baik kugunakan untuk ngudut.” Kemudian dia tertawa, aku pun
hanya bisa menghela napas pelan sembari tersenyum.
***
“Kau
tidak mengajak istrimu kemari?” Roni datang dari dalam rumah, membawa satu
toples berisi roti nastar.
Aku
menggelengkan kepala. Mataku terfokus pada roti nastar yang dibawa oleh Roni.
Itu adalah camilan kesukaanku. Roni segera menyerahkannya kepadaku.
“Aku
dengar adikmu pergi merantau ke luar negeri,” ucapku setelah memakan satu roti
nastar.
“Malaysia,”
jawabnya singkat.
“Bekerja
di bangunan atau ...?”
Roni
tak segera menjawab. Dia kembali mengambil sebatang keretek, menyulutnya.
Meraih asbak yang sedari tadi mendekat kepadaku. “Tebakanmu tidak pernah
meleset.”
“Kau
tak mencegahnya?” Aku membenarkan posisi duduk.
“Itu
kulakukan kemarin. Harapanku dia bisa membantuku dalam usaha ikan. Dan jika kau
tahu, satu kolam ikan sudah kupersiapkan untuknya tapi dia memilih untuk pergi.
Tapi itu adalah pilihannya sendiri jadi aku tak bisa melarangnya. Asalkan dia
bisa bertanggung jawab dan menjaga dirinya di sana.”
“Walaupun
masih terlalu muda untuk merantau, tapi aku percaya pada adikmu.”
Lengang
sekejap. Roni menghisap kereteknya, mengembuskannya perlahan. “Sewa ladangmu
masih berapa tahun?”
“Tahun
ini rencananya habis tapi aku mau memperpanjang.”
“Lebih
mahal?”
“Setiap
akan perpanjangan, pemilik ladang akan meminta kenaikan. Itu bukan masalah
sebenarnya. Yang menjadi sedikit beban adalah sulitnya kesediaan pupuk. Kalau
pupuk mahal dan tersedia pasti akan kubeli dengan cara apa pun tapi kalau
sampai pupuk sulit dicari, itu yang menjadi masalah paling besar.”
“Memangnya
sesulit itu untuk mendapatkan pupuk?”
“Akhir-akhir
ini memang kenyataannya begitu. Aku kemarin sampai mencari di beberapa tempat
dan ternyata persediaan kosong, adanya pupuk berharga mahal. Sempat bingung
juga tapi mau bagaimana lagi, adanya hanya itu. Mau tidak mau harus kubeli.”
“Kau
tak mau buka usaha lain?”
“Itu
rencanaku tapi pekerjaanku di ladang juga tetap harus berlanjut.”
“Mengapa?
Kau bisa menghentikan pekerjaanmu di ladang beberapa saat dulu untuk membuka
usaha baru.”
“Aku
selalu menjaga perkataan dari bapakku, 'sudah terlalu banyak pekerjaan yang
menghasilkan bangunan sehingga pekerjaan yang menghasilkan makan sering
dianggap sepele.' Jadi tidak ada alasan untukku meninggalkan pekerjaan di ladang.”
“Bapakmu
memang seorang petani sejati.”
Roni
melirik jam tangannya, lalu bangkit dari duduknya, “Aku mau memberi makan ikan,
kau mau ikut atau diam di sini?”
Aku
segera bangkit, mengikuti Roni yang sudah berjalan di depanku.
***
“Kau
nambah dua kolam lagi, Ron?” tanyaku sembari memandang ke arah depan. Lima
petak kolam cukup besar berjejer. Roni hanya mengangguk seraya mempersiapkan
pakan ikan di timba..
Dulu
ketika pertama kali, Roni hanya membuat satu kolam saja. Katanya buat
coba-coba. Hanya berselang satu tahun kemudian, dia membuat dua kolam lagi. Dan
sekarang dia juga menambah dua kolam, Roni memang tak bisa disepelekan kalau
sudah punya keinginan.
Roni
mengambil satu timba berisi pakan ikan yang sudah selesai disiapkannya,
melemparkannya ke kolam. Dengan cepat ribuan ikan gurami tersebut langsung
menyambutnya. Mulutnya kembang-kempis, melahap semua makanan yang ada di depannya.
Roni melakukan hal sama dengan tiga kolam yang lain.
“Satu
lagi enggak kau kasih makan?” tanyaku ketika Roni terdiam di atas kolam
terakhir.
Roni
tak lekas menjawab. Dia malah mendekat ke arah pompa air, menyalakannya. Suara
pompa air menyelusup melewati lingkar telinga. Sejurus kemudian semburan air
langsung keluar, masuk ke kolam.
“Ikannya
sedang marah,” ucap Roni singkat.
Aku
mengernyitkan dahi. Tak pernah kudengar sebelumnya kalau ikan juga bisa marah
seperti manusia.
“Ikan
guramiku ini seperti kau kalau sedang marah, selalu mogok makan,” Roni
memandangku, “kau kan juga seperti itu, sok-sokan tak mau dikasih makan padahal
hanya mengharapkan belas kasihan dari orang lain.”
Aku
terdiam kebingungan. Suara tawa keluar dari mulut Roni.
“Bercanda,
Kawan. Ikanku yang ada di kolam ini terkena penyakit, banyak yang mati dan
sengaja tidak kukasih makan. Kalau dipaksa diberi makan malah akan mati lebih
banyak lagi. Jadi hanya kuberi air bersih supaya berganti airnya dan sebagai
obat hanya kugunakan pelepah daun pisang.”
Aku
memperhatikan ucapan Roni, tampak fasih menjelaskan. Roni lalu mencabut tanaman
kangkung yang tumbuh liar di sisi kolam dan melemparkannya ke kolam yang tadi
diberi pakan. “Buat tambah-tambah supaya lebih kenyang,” katanya kepadaku.
Tak
terasa matahari mulai turun di peraduannya, hari mulai gelap. Aku melihat jam
tangan. “Aku harus pulang dulu, Ron.”
“Tumben
buru-buru sekali kau.”
“Kau
lupa kalau aku sudah beristri.”
Roni
kembali tertawa. Mungkin itu juga sekaligus sindiran kepadanya supaya dia bisa
cepat memilih pasangan. Aku segera melangkah meninggalkan Roni. Dari kejauhan
Roni berteriak, “Nampaknya kau tertarik untuk usaha ikan.”
Aku
sejenak menghentikan langkah, mencerna omongan Roni. Aku tersenyum tipis kemudian
melanjutkan langkahku kembali.
Tulungagung, 18 Agustus 2020
Cerpen ditulis oleh Rizky Hadi
Posting Komentar untuk "Obrolan Santai"