Doa Seorang Bodoh
Si
Bodoh tengah risau karena memikirkan usaha yang dirintisnya tak kunjung menemui
hasil. Malah cenderung hanya jalan di tempat. Padahal dia telah memulai usaha
selama enam bulan. Segala upaya telah dilakukannya: promosi secara terbuka,
pemberlakuan potongan harga, menekan keuntungan setipis mungkin.
Dalam
rentang waktu yang sama, usaha teman-temannya sudah menemui jalan terang: omzet
mulai naik, pelanggan berdatangan. Efeknya, bisa mencukupi kebutuhan keluarga
dan karyawan, keuntungan menjalar, produk melangit. Hingga muncul istilah,
bukan kita yang mencari pelanggan melainkan pelanggan yang memburu kita.
Suatu
ketika si Bodoh mendatangi si Jangkung, temannya yang bisa dikatakan sudah
sukses dalam meniti usaha. Setelah berbicara ngalor-ngidul, bertukar ide, akhirnya si Bodoh menyampaikan
keluhannya.
“Aku
lihat usahamu sudah berkembang. Kau juga telah membuka beberapa cabang di kota
ini,” ucap si Bodoh.
“Puji
Tuhan. Berkat doa yang tak henti-henti,” jawab si Jangkung rendah hati.
“Kau
berdoa? Dari mana kau mendapat doa itu?” Si Bodoh semakin penasaran.
“Memangnya
kau tak pernah berdoa? Doa itu penting untuk mengawali kegiatan.”
“Aku
boleh meminta doamu?”
“Maaf
tidak bisa. Doa ini khusus untukku. Jika kau ingin meminta doa, aku tunjukkan
seorang guru yang bisa memberimu doa agar usahamu lancar.”
Si
Jangkung lantas memberikan sebuah kertas yang bertulis alamat, si Bodoh segera
beranjak pergi. Dengan wajah semringahnya, dia menyongsong tempat yang sudah
diberitahu oleh Si Jangkung.
Dalam
perjalanan, si Bodoh mendapat ganjalan yang memperlambatnya. Dia beberapa kali
dikecoh orang ketika bertanya tentang alamat Sang Guru yang akan ditemuinya.
Kata seorang polisi, dia harus berjalan ke selatan jika ingin ke tempat tujuan.
Di selatan, dia kebingungan. Dia bertanya lagi kepada seorang pegawai negeri. Katanya,
dia harus putar balik dan berjalan ke arah timur. Di timur pun, dia juga
linglung, tak tahu arah. Karena merasa lelah dan haus, dia mampir di warung
untuk membeli minuman. Di warung tersebut dia bertanya kepada si Ibu Penjual.
Si Ibu itu bilang bahwa dia harus berjalan sedikit lagi ke arah tenggara.
Dengan
sisa-sisa semangat yang dimilikinya, si Bodoh meneruskan perjalanan. Sekira
satu jam, dia sampai di wilayah pedesaan asri. Pohon-pohon tumbuh rindang,
kicau burung terdengar merdu di telinga, para warga menyapa ramah. Si Bodoh
mengembuskan napas kelegaan.
Ketika
tengah mematung di pinggir jalan, bingung karena hendak berjalan ke mana lagi,
dia dikagetkan oleh seorang laki-laki muda yang kini telah berdiri di
sampingnya.
“Saya
belum pernah melihat Anda sebelumnya,” kata si Laki-Laki itu.
Si
Bodoh diam beberapa saat. Dia memandang laki-laki di hadapannya. Perawakannya
kurus tinggi, rambut tipis tumbuh di sekitar dagunya, tatapannya serius. Si
Bodoh lantas menjelaskan siapa dirinya dan maksud tujuannya.
“Perkenalkan
sebelumnya, saya adalah murid Guru. Kalau Anda ingin bertemu dengan Guru, mari
ikut saya. Saya akan antarkan!” ujar si Laki-Laki setelah si Bodoh
memperkenalkan diri.
Si
Laki-laki itu memimpin si Bodoh yang turut di belakangnya. Langkah mereka
berdua rapat membelah jalanan desa. “Kita akan menuju Padepokan Bambu Hitam.
Padepokan itu dipimpin langsung oleh Guru. Segala aturan dan kegiatan dikomandoi
olehnya. Saya berpesan kepada Anda, turuti apa yang Guru bilang. Jangan sampai
membantah!”
***
Sampailah
mereka berdua di padepokan.
Di
sebuah kelas, dindingnya terbuat dari bambu utuh dipotong sekira lima meter, atapnya
hanya berupa daun rumbia, lantainya diperhalus dengan semen yang diselimuti
karpet hijau sebagai alas. Bangku-bangku berjejer juga berbahan dari
bilah-bilah bambu. Di salah satu sudut, terdapat rak berisi kitab-kitab sebagai
rujukan pembelajaran. Tempat sederhana untuk ukuran padepokan.
Sang
Guru sedang sibuk mengajar beberapa muridnya. Sang Guru ini ahli dalam
kesehatan dan spiritual. Banyak orang yang punya penyakit ketika datang ke
tempat ini akan berangsur sembuh setelah diberi obat oleh Sang Guru. Konon,
para pengusaha kelas kakap juga sering berkunjung hanya untuk meminta doa agar
usahanya diberi kelancaran.
Namun,
layaknya orang berilmu lain, Sang Guru enggan dimuliakan. Dia berpikiran bahwa
segala kelebihan yang dilimpahkan kepadanya, berkat kuasa Tuhan. Dia hanya
bertugas sebagai perantara saja.
Sang
Guru menghentikan pengajaran saat si Laki-Laki dan si Bodoh datang. si
Laki-Laki mengangguk takzim, si Bodoh mengikuti. Karena kedatangan tamu, Sang
Guru menyuruh para muridnya untuk meninggalkan tempat.
“Maaf
mengganggu kegiatan Guru. Saya mengantarkan orang yang hendak bertemu dengan
Guru,” ucap si Laki-Laki kemudian menoleh ke si Bodoh.
Si
Bodoh memandangi Sang Guru lekat. Dia bisa menangkap bahwa Sang Guru memiliki
tubuh liat walaupun jika dilihat sekilas sudah cukup berumur. Rambutnya mulai
memutih yang dibungkus dengan peci hitam. Gurat wajahnya tenang, menandakan dia
orang bijaksana. Satu lagi, Sang Guru memiliki bekas sayatan di atas
pergelangan tangan sebelah kiri.
“Biarkan
dia di sini. Kamu boleh pergi,” suruh Sang Guru kepada si Laki-Laki.
Menyisakan
Sang Guru dan si Bodoh. Sang Guru ini mempunyai cara tersendiri untuk menyambut
tamunya. Dia akan menyuruh tamunya berbicara terlebih dahulu tentang apapun,
bahkan kalau tamunya ingin mengumpat juga tidak masalah. Tujuannya hanya untuk
membuat tamunya merasa nyaman.
Si
Bodoh berbicara tentang perjalanannya ke sini yang mendapat hambatan, dia juga dua
kali ditipu oleh orang tentang alamat. Sang Guru mendengarkan dengan cermat,
sesekali menanggapi omongan si Bodoh.
“Sebetulnya
ada urusan apa kamu datang dan menemui saya?”
“Maaf
sebelumnya, saya menganggu waktunya Guru. Jadi begini Guru, enam bulan yang
lalu saya memberanikan diri untuk membuka usaha. Modal banyak sudah saya
keluarkan untuk membuat usaha saya ini maju. Tetapi setelah berjalan sekian
bulan tidak ada perkembangan tentang usaha saya ini. Kemudian saya bertemu dengan
seorang teman yang sudah sukses dalam menjalankan usahanya. Saya bertanya
tentang rahasia di balik jalan mulusnya. Dia berkata bahwa setiap kali
melakukan kegiatan, dia akan berdoa. Saya ingin meminta doanya tetapi dia tak
mau memberi. Dia lalu menujukkan kepada saya bahwa ada seorang guru yang bisa
memberi saya doa. Itulah alasan mengapa saya datang ke sini,” terang Si Bodoh.
Sang
Guru sejenak diam. Dia memandang wajah si Bodoh begitu detail. Yang dipandang
malah menunduk karena merasa malu. Sang Guru nampaknya sedang meraba kesungguhan
tentang apa yang dikatakan si Bodoh.
“Kamu
sekarang pulang dan kembali besok dengan membawa satu genggam beras. Ingat!
Beras itu harus selalu dalam genggaman ketika kamu berangkat hingga sampai di
sini,” ucap Sang Guru.
Tanpa
berpikir lama, setelah mencium tangan Sang Guru, si Bodoh langsung bergegas
pulang dengan wajah berseri, seolah dia mendapatkan harapan baru. Takut
terlupa, mulutnya tak berhenti meracau, mengucapkan syarat yang diamanatkan
oleh Sang Guru.
***
Keesokan
harinya, si Bodoh menjalankan apa yang dikatakan Sang Guru. Dia mengambil beras
dan menggenggamnya erat di tangan kanan. Berhati-hati dia menjaga genggamannya
agar tetap kuat. Melindungi setiap butir beras agar tidak terbuang banyak.
Beberapa anak kecil berlarian di tengah jalan, satu di antaranya hampir
menabrak si Bodoh. Untungnya, dia dengan sangat cekatan menghindari dan beras
dalam genggamannya masih tetap utuh.
Si
Bodoh akhirnya berhasil mencapai padepokan. Dengan antusias, dia mencari Sang Guru,
menunjukkan kalau dia berhasil menunaikan tugas.
Sang
Guru keluar dari kelasnya, menyeringai tipis dengan apa yang dilakukan si
Bodoh. Sang Guru pun menerima beras, kemudian dia melemparkan beras tersebut ke
arah ayam kampung yang sedang mengais makanan di tanah. Si Bodoh terkejut
dengan apa yang dilakukan Sang Guru tetapi dia tidak berani memprotes.
“Kamu
besok ke sini lagi dengan membawa bambu kuning satu meter.” Sang Guru pergi
meninggalkan si Bodoh, meneruskan pengajaran.
Si
Bodoh terdiam cukup lama. Lelah belum juga mereda, tetapi dia disuruh pulang
oleh Sang Guru. Mengingat apa yang disampaikan si Laki-Laki, dia kemudian
meninggalkan padepokan. Perjalanan pulang diisinya dengan komat-kamit
mengucapkan apa yang dipesankan Sang Guru.
Tiba
di rumah, dia bertanya kepada teman-temannya tentang siapa yang memiliki bambu
kuning. Bukan tanpa alasan, di daerah si Bodoh tinggal, tak ada satu orang pun
yang mempunyai bambu kuning. Pernah dulu dia menjumpai bambu kuning yang tumbuh
di seberang jalan dari rumahnya. Tetapi karena ada proyek pelebaran jalan,
bambu tersebut terpaksa dibongkar.
“Di
kota sebelah, tepatnya di utara jembatan yang menghubungkan kota, aku pernah
melihat bambu kuning yang tumbuh. Jika kau benar-benar membutuhkan, kau bisa ke
sana dan mencari siapa pemiliknya,” ucap salah satu temannya.
Tanpa
membuang waktu, si Bodoh menuju ke daerah tersebut. Ketika sampai di jembatan
penghubung kota, matanya menyelidik. Dan benar, di utara jembatan, tepatnya di
bantaran sungai, dia melihat apa yang dicarinya. Dia berlanjut menuruni
jembatan, jalan setapak dan pemukiman warga menyambut.
Si
Bodoh bertanya kepada para warga tentang kepemilikan bambu kuning. Dia
diarahkan kepada si Tua, pemilik bambu kuning tersebut. si Bodoh menjelaskan
maksud tujuannya, bahwa dia diutus oleh Sang Guru dan sangat membutuhkan bambu
itu. Beruntung bagi si Bodoh, si Tua juga mengenal Sang Guru dengan baik.
Bahkan si Tua mengaku sebagai karib lama
Sang Guru. Dengan kemurahan hatinya, si Tua mengizinkan si Bodoh untuk mengambil
bambu kuning. Si Bodoh juga dibantu beberapa warga lain untuk memotong bambu
tersebut.
Keesokan
harinya, masih dengan semangat membara, si Bodoh kembali ke padepokan. Bambu
kuningnya dipikul. Dia menemui Sang Guru yang tengah mengajar muridnya. Terdengar
suara merdu saat Sang Guru melafalkan alunan bacaan yang ada di kitab.
Terbersit kedamaian di hati si Bodoh.
Setelah
Sang Guru menyelesaikan pengajarannya, dia menemui si Bodoh yang sudah
menunggunya di depan kelas. Si Bodoh bangga menunjukkan bambu kuning ke Sang
Guru. Sang Guru mengambil bambu kuning tersebut, memandanginya. Kemudian dia
berjalan ke pohon asam, si Bodoh mengikuti. Sang Guru mengembalikan bambu
kuning ke si Bodoh, menyuruh si Bodoh untuk memukul-mukulkan bambu kuning itu
ke pohon asam hingga hancur. Si Bodoh menelan ludah, terkesiap.
Si
Bodoh mulai memukulkan bambu kuning ke pohon asam. Suara bambu kuning dan pohon
beradu keras membuat murid-murid Sang Guru penasaran untuk melihat apa yang
terjadi. Puluhan kali percobaan dengan tenaga yang dimilikinya, bambu kuning mulai
pecah. Lima-enam pukulan selanjutnya bambu sudah hancur tak beraturan.
Sang
Guru tersenyum kemudian berkata kepada si Bodoh, “Besok kamu kembali ke sini
membawa air dalam timba. Ingat! Airnya tidak boleh tumpah lebih dari setengah
timba.”
Si
Bodoh hanya memandangi Sang Guru yang kini sudah pergi meninggalkannya.
Napasnya tersengal, naik turun. Dia terdiam, rasa kesal mulai muncul dari dalam
dirinya. Si Bodoh hendak memprotes kepada Sang Guru. Tetapi dia kembali
teringat perkataan si Laki-Laki, membuat dia mengurungkan niat.
Keesokan
harinya lagi, si Bodoh datang dengan membawa satu timba air. Dengan kepayahan
dia meletakkan timba tersebut di hadapan Sang Guru yang sudah menunggunya di
depan kelas. Si Bodoh langsung terduduk, tangannya pegal-pegal. Sang Guru
mengambil timba berisi air tersebut dan menuangkan ke bunga yang tumbuh di
sekitar padepokan.
Si
Bodoh hanya melihat apa yang dilakukan Sang Guru. Dia bengong, kesal, usahanya
selama beberapa hari ini terasa sia-sia. Beras dikasih ayam, bambu kuning
disuruh menghancurkan, dan kini air yang dibawanya dengan susah-payah malah
dibuat untuk menyiram bunga. Karena tak tahan lagi dengan apa yang Sang Guru
lakukan, si Bodoh memberanikan diri untuk bertanya.
“Maaf
Guru, apa maksud dari semua ini? Saya membawa apapun selalu tidak ada gunanya
di sini. Padahal itu perintah dari Guru. Saya hanya berniat meminta doa kepada
Guru.”
“Kamu
ingin doa?” tanya Sang Guru datar.
“Sangat
membutuhkannya Guru.”
“Mari
ikut saya!”
Sang
Guru mengajak si Bodoh masuk ke dalam kelas. Dia mulai mengajarkan doa yang
dibutuhkan si Bodoh. Sang Guru mencatat, melafalkan doa cukup panjang dan
meminta Si Bodoh untuk mengikutinya. Si Bodoh terbata-bata melafalkannya.
Lidahnya memang tidak disetel untuk membaca doa. Berulang-ulang diucapkan, dia tak
juga hafal.
Si
Bodoh merasa mempunyai kekurangan dalam menghafal. Dia lalu meminta Sang Guru
untuk memberinya doa yang lebih mudah. Sang Guru pun lantas memangkas doa yang
awalnya satu bait menjadi dua kalimat dan menyuruh si Bodoh untuk menghafal
kembali. Si Bodoh mulai melafakan doa. Mulutnya sedikit kaku, namun tetap
dipaksakannya. Hasilnya sungguh mengecewakan, Puluhan kali dia mencoba kembali
tetapi tak bisa membuat doa itu melekat di kepala.
Si
Bodoh mulai putus asa. Dia lantas meminta Sang Guru untuk meringkas kembali doanya.
Sang Guru pun menurutinya. Dia meringkas doa menjadi satu kalimat. Si Bodoh
mencoba mengulangi dan menghafal. Masih sama. Tak terhitung lagi berapa
percobaan yang dilakukannya, tetapi doa itu hanya numpang lewat saja.
“Tolong
beri saya doa yang mudah diingat saja Guru,” pinta si Bodoh.
Kesabaran
Sang Guru mulai terkikis. Baru kali ini dia menemukan orang yang sama sekali
tidak bisa menghafal, membaca pun kesulitan. Sang Guru mengembuskan napas
panjang, berkata lirih, “Bodoh.”
Si
Bodoh terdiam sejenak, lamat-lamat mendengar ucapan Sang Guru. Dia langsung
berpamitan kepada Sang Guru seraya mengucapkan terima kasih, mencium tangan
Sang Guru cukup lama. Sang Guru pun heran, menggaruk kepalanya yang tak gatal.
***
Satu
tahun sejak kedatangan si Bodoh ke padepokan, setiap bulan Sang Guru mendapat
kiriman uang dan beras dari orang tidak dikenal. Tidak ada alamat dan nama yang
jelas. Secara rutin, kedua komoditas tersebut datang silih berganti. Membuat
Sang Guru kebingungan. Pernah Sang Guru bertanya kepada kurir yang mengantarkan,
kurir tersebut juga tak pernah membuka mulut.
Terlampau
penasaran, Sang Guru menyuruh si Laki-Laki untuk mencari tahu siapa dalang di
balik semuanya. Karena si Laki-Laki mempunyai pergaulan luas dan menurutnya
bisa dengan mudah melakukan pencarian, membuat dia dipercaya mengemban tugas.
Namun,
yang diharapkan Sang Guru malah sebaliknya, si Laki-Laki pun sangat kesulitan
mendapatkan informasi. Usahanya dari bertanya kepada setiap orang, mengikuti
kurir yang mengantarkan barang. Semua menemui jalan buntu. Sempat terbersit
ingin menyerah, tetapi kesetiaannya kepada Sang Guru mengalahkan segalanya. Dia
tetap melanjutkan apapun kendalanya.
Lambat
laun, usaha si Laki-Laki menemui jalan terang. Salah satu sejawatnya
mengabarkan bahwa ada seorang pengusaha yang rajin memberikan sembako kepada
yayasan-yayasan sosial. Informasi ini langsung ditelusuri oleh si Laki-Laki.
Si
Laki-Laki mendatangi tempat usaha dan mengintai kediaman pengusaha tersebut. Riwayat
pertemuan dan relasi yang berkaitan dengannya digali dalam oleh si Laki-Laki.
Sampai suatu ketika, dia membuntuti pengusaha tersebut yang mengantarkan
sejumlah sembako kepada kurir. Saat dia melihat penampakan jelas pengusaha
tersebut, dia mendapatkan sebuah fakta yang membuatnya terkejut bukan kepalang.
Tanpa
sepengetahuan pengusaha tersebut, si Laki-Laki terus mengikuti hingga ke
rumahnya. Sesaat sebelum memasuki rumah, si Laki-Laki memanggil pengusaha
dengan suara keras. Pengusaha menoleh, terkejut siapa yang berteriak kepadanya.
Kedua orang tersebut saling pandang, si Laki-Laki langsung menuju ke pengusaha,
menjabat tangan dengan sangat erat. Perasaan pengusaha senang dicampur kaget.
Mereka berdua bertukar sapa dan si Laki-Laki menjelaskan kronologi hingga dia
sampai ke tempat pengusaha.
***
Si
Laki-Laki kembali ke padepokan dengan seorang di belakangnya. Seseorang
tersebut berjalan dengan gagah dan elegan. Senyumnya timbul ketika memasuki
gerbang padepokan. Seseorang itu adalah si Bodoh.
Mereka
berdua menyusuri jalanan yang di kanan kirinya terrdapat bambu hitam. Si Bodoh serasa
bernostalgia, kenangan satu tahun lalu tak bisa dilupakannya. Mereka berdua
langsung menemui Sang Guru yang tengah duduk di selasar kediamannya.
“Kamu
yang selama ini mengirimi saya uang dan beras?” sambut Sang Guru dengan
pertanyaan.
“Benar,
Guru.” Si Bodoh mencium tangan Sang Guru.
“Dari
mana kamu mendapat semua itu? Katanya usahamu dulu tidak membuahkan hasil.”
“Itu
dulu, Guru. Sekarang usaha saya sudah berkembang pesat.”
“Syukurlah.”
Sang Guru tersenyum.
“Ini
semua berkat doa dari Guru juga.”
“Doa
yang mana?”
“Bodoh.”
Si Bodoh tersenyum.
Sang Guru terdiam seketika. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia lantas mempersilakan si Bodoh untuk masuk dan menyuruh si Laki-Laki memotong ayam kampung untuk dijadikan menu makanan, menyambut kedatangan si Bodoh.
Tulungagung, Oktober 2020
Posting Komentar untuk "Doa Seorang Bodoh"